Menilai orang lain sesungguhnya merupakan perilaku yang telah serasi dengan fitrah setiap manusia sejak dari kecil hinggalah dewasa, bahkan sepanjang usianya. Sadar ataupun tidak, ketika berinteraksi dengan orang lain, saat itu juga fikiran kita akan menilai orang yang berinteraksi dengan kita tersebut.
Banyak faktor-faktor yang menjadi bahan penilaian ke atas diri orang lain, di antaranya :
1. Penampilan.
2. Cara berpakaian.
3. Rupa paras wajah.
4. Gaya bicara.
5. Bahasa.
6. Tingkatan tanggung jawab.
7. Tingkatan komitmen.
8. Rekord pencapaian.
9. Latar belakang pendidikan.
10. Kedudukan.
11. Gaji/harta.
12. Tingkatan perhatian/simpati.
13. Sikap ataupun cara penyelesaian terhadap suatu persoalan.serta berbagai ragam lagi faktor yang bisa dinilai.
Jadi, aktivitas menilai orang lain bukanlah perkara yang asing atau aneh ataupun bersifat tabu. Bahkan kita dapatkan di rumah, dilingkungan tempat tinggal, di sekolah, di kampus, di institusi kenegaraan serta hampir di dalam semua institansi formal, suatu mekanisma yang dinamakan "fit and proper test" biasa dilakukan pada sejumlah calon dalam rangka kenaikan pangkat / jabatan ataupun sekadar pengambilan pekerja baru.
Semua itu tidak lain melainkan adalah bentuk aktivitas menilai manusia yang dilakukan oleh manusia yang lain. Menilai manusia adalah kemestian. Itulah bentuk ikhtiar manusia yang boleh dilakukan. Namun begitu, ada sebagian orang yang berpikir dan berpandangan bahwa yang semestinya berhak menilai seseorang hanyalah Tuhan, Pencipta manusia tersebut.
Benar sekali! Namun kita sama sekali tidak tahu apa-apa tentang penilaian Tuhan terhadap seseorang karena tiada lagi wahyu yang turun setelah Nabi Muhammad saw. Sikap seperti ini cenderung membuatkan seseorang itu bersikap pasif dan enggan menerima penilaian atas diri seseorang meskipun penilaian itu dilakukan oleh ramai orang dan berdasarkan data penemuan yang tepat. Padahal pada masa yang sama, dirinya sama sekali tidak tahu apa-apa penilaian dari Tuhan terhadap orang tersebut.
Seterusnya, tanpa disadari dan akibat ketidaktahuannya akan mendorongnya untuk memunculkan kebenaran atas pilihan tindakan yang sebenarnya sarat dengan kepentingan dirinya dalam menilai dan didominasi oleh perasaan (bukan lagi oleh logika yang objektif) sehingga akhirnya, itulah cara yang dia pilih dalam rangka memberi penilaian.
Ini adalah suatu cara menilai yang menutup semua pandangan dan masukan dari luar dirinya. Dalam situasi seperti itu, apakah jaminan keadilan dan sikap rasional yang masih tersisa di sana?
Dalam ruang lingkup dakwah, khususnya dalam suatu halaqah (yang tentu sahaja di dalamnya terdiri dari manusia-manusia), seorang "murabbi" memerlukan proses taqwim, dakwah (penilaian atas diri seseorang sebagai penilaian dakwah) terhadap para mutarabbi-nya ataupun terhadap orang lain yang mempunyai kaitan dengan mutarabbi-nya dalam rangka komitmen Islam secara umum.
Semua itu tidak lain melainkan adalah bentuk aktivitas menilai manusia yang dilakukan oleh manusia yang lain. Menilai manusia adalah kemestian. Itulah bentuk ikhtiar manusia yang boleh dilakukan. Namun begitu, ada sebagian orang yang berpikir dan berpandangan bahwa yang semestinya berhak menilai seseorang hanyalah Tuhan, Pencipta manusia tersebut.
Benar sekali! Namun kita sama sekali tidak tahu apa-apa tentang penilaian Tuhan terhadap seseorang karena tiada lagi wahyu yang turun setelah Nabi Muhammad saw. Sikap seperti ini cenderung membuatkan seseorang itu bersikap pasif dan enggan menerima penilaian atas diri seseorang meskipun penilaian itu dilakukan oleh ramai orang dan berdasarkan data penemuan yang tepat. Padahal pada masa yang sama, dirinya sama sekali tidak tahu apa-apa penilaian dari Tuhan terhadap orang tersebut.
Seterusnya, tanpa disadari dan akibat ketidaktahuannya akan mendorongnya untuk memunculkan kebenaran atas pilihan tindakan yang sebenarnya sarat dengan kepentingan dirinya dalam menilai dan didominasi oleh perasaan (bukan lagi oleh logika yang objektif) sehingga akhirnya, itulah cara yang dia pilih dalam rangka memberi penilaian.
Ini adalah suatu cara menilai yang menutup semua pandangan dan masukan dari luar dirinya. Dalam situasi seperti itu, apakah jaminan keadilan dan sikap rasional yang masih tersisa di sana?
Dalam ruang lingkup dakwah, khususnya dalam suatu halaqah (yang tentu sahaja di dalamnya terdiri dari manusia-manusia), seorang "murabbi" memerlukan proses taqwim, dakwah (penilaian atas diri seseorang sebagai penilaian dakwah) terhadap para mutarabbi-nya ataupun terhadap orang lain yang mempunyai kaitan dengan mutarabbi-nya dalam rangka komitmen Islam secara umum.
Proses "taqwim" ini memiliki dua bentuk yaitu :
1. Jarh (menilai sisi kelemahan).
2. Ta'dil (menilai sisi kebaikan).
atau bahkan kadang-kadang mencakupi keduanya yang disampaikan secara garis kasar atau secara terperinci.
Proses taqwim bertujuan untuk mengetahui keahlian seseorang. Proses ini juga bertujuan untuk menilai pencapaian `muwashafat' (karakter / ciri-ciri) pada diri mutarabbi ataupun orang lain yang mempunyai kaitan dengan mutarabbi, contohnya dalam hal memilih pasangan yang sesuai untuk mutarabbi, atau juga ketika akan memilih seseorang untuk diletakkan pada posisi jabatan tertentu.
Untuk mengetahui tingkatan keahlian seseorang, diperlukan kewujudan proses taqwim yang :
a. Serius.
b. Jujur.
c. Objektif.
d. Jauh dari ifrath (terlalu mempermudahkan).
e. Jauh dari tafrith (terlalu menyulitkan).
f. Memiliki tingkatan ketepatan yang baik.
Oleh karena itu, peranan pihak yang lebih dekat dan tahu terhadap seseorang yang sedang dinilai dan dipilih mestilah lebih diutamakan dibandingkan dengan pihak yang jauh darinya.
1. Jarh (menilai sisi kelemahan).
2. Ta'dil (menilai sisi kebaikan).
atau bahkan kadang-kadang mencakupi keduanya yang disampaikan secara garis kasar atau secara terperinci.
Proses taqwim bertujuan untuk mengetahui keahlian seseorang. Proses ini juga bertujuan untuk menilai pencapaian `muwashafat' (karakter / ciri-ciri) pada diri mutarabbi ataupun orang lain yang mempunyai kaitan dengan mutarabbi, contohnya dalam hal memilih pasangan yang sesuai untuk mutarabbi, atau juga ketika akan memilih seseorang untuk diletakkan pada posisi jabatan tertentu.
Untuk mengetahui tingkatan keahlian seseorang, diperlukan kewujudan proses taqwim yang :
a. Serius.
b. Jujur.
c. Objektif.
d. Jauh dari ifrath (terlalu mempermudahkan).
e. Jauh dari tafrith (terlalu menyulitkan).
f. Memiliki tingkatan ketepatan yang baik.
Oleh karena itu, peranan pihak yang lebih dekat dan tahu terhadap seseorang yang sedang dinilai dan dipilih mestilah lebih diutamakan dibandingkan dengan pihak yang jauh darinya.
Penilaian itu hendaklah dilakukan secara jama'ie melalui mekanisme syura, agar tingkatan ketepatan penilaiannya lebih terjamin.
Landasan Syari'e
1. Al Qur'an Al Karim.
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS An-Nisa' : 58)
2. Sunnah Rasulullah saw.
"Jika suatu urusan diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat (kehancuran)-nya." (HR Bukhari)
3. Manhaj Salafus-Soleh
a. Umar bin Al Khattab setiap kali mau mengangkat seseorang untuk mengisi jabatan tertentu, terlebih dahulu bertanya kepada Huzaifah pemegang rahsia Rasulullah saw. Jika Huzaifah merasa keberatan dengan orang itu, maka Umar tidak jadi mengangkatnya, jika Huzaifah tidak keberatan, maka Umar mengangkatnya.
b. Umar bin Al Khattab berkata kepada seorang lelaki yang mengaku mengenali seorang lelaki lainnya :
"Pernahkah engkau pergi bersamanya? Pernahkah engkau bermuamalah wang dengannya?
Orang itu menjawab: "Belum".
Kata Umar, "Bererti engkau belum mengenalinya".
c. Ada seorang ulama hadits yang melakukan perjalanan sangat jauh untuk menemui seseorang yang diduganya kuat mengingati suatu hadits. Sesampainya di rumah orang yang dituju itu, dilihatnya orang yang dicarinya itu memanggil binatangnya dengan isyarat akan memberi makan, namun ternyata ia tidak memberinya makan, maka ulama itu pun meninggalkan orang yang telah lama dicarinya itu dengan alasan, kalau dengan binatang dia berani berbohong, maka tidak mustahil bahwa dia bisa berbohong atas nama Nabi Muhammad saw.
Sebenarnya, penggunaan taqwim dalam bingkai amal jamai'e di zaman sekarang, meskipun bersandar kepada sebagian dari acuan jarh wat ta'dil dalam ilmu hadits, namun hanya sebagai perbandingan dan tidak diikuti sepenuhnya kerana ada perbedaan diantara keduanya yaitu :
1. Jarh atau ta'dil dalam ilmu hadits bertujuan untuk mengetahui perawi secara khusus dari segi tsiqahnya dan kemampuannya dalam meriwayatkan hadits. Secara prinsipnya, ia didedikasikan untuk menetapkan kebenaran nash Nabawi dan implikasinya berupa darjat kelemahan dan kesahihan riwayat.
2. Dalam taqwim dakwah, ia bertujuan untuk mengetahui seseorang dari segi kemampuan dan kelemahannya secara garis kasar dan ditujukan kepada sejumlah tujuan dan matlamat sejagat bagi aktivitas dakwah.
Manusia dan seluk-beluk keadaannya bisa diketahui melalui berbagai cara, di antaranya :
a. Kesaksian yang bersifat massa iaitu yang beredar di tengah-tengah masyarakat.
b. Pengujian, iaitu diberi tanggung jawab dan amanah lalu dilihat daya tahan, istiqamah dan kesabarannya serta kekuatannya.
c. Proses taqwim melalui jarh (menilai sisi kelemahan) dan `ta'dil (menilai sisi kebaikan).
Tidak diragukan lagi bahwa proses taqwim merupakan salah satu seni mengetahui atau menilai manusia dan keadaan mereka secara umum (yaitu bisa dianggap sebagai sebagian dari ilmu antropologi).
Proses taqwim ini merupakan ilmu Islam yang benar yang berawal sebagai salah satu ilmu hadits Nabawi dan menjadi ciri khas peradaban Islam.
Oleh karena itu, acuan yang digunakan dalam menilai seseorang adalah sistem nilai yang berasal dari Allah swt dan RasulNya iaitu penilaian baik mahupun buruknya seseorang mesti mengarahkan kepada apa yang Allah tetapkan tentang `muwashafat' (karakter/ciri-ciri) orang yang baik dan apa yang Allah tetapkan tentang orang yang buruk.
Bahkan dengan adanya proses taqwim, peningkatan di dalam sekumpulan orang yang baik bisa dibedakan.
Contohnya: nilai kebaikan terendah adalah menyingkirkan duri dijalanan sedangkan kebaikan tertinggi adalah mengatakan al-haq di hadapan penguasa yang dholim. Di antara keduanya tentu banyak sekali amal-amal yang bernilai kebaikan. Jadi, aktivitas menilai orang (taqwim) bukanlah perkara yang 'tabu' dalam Islam, malah sebaliknya, Islam telah memberikan arahan bagaimana caranya men-taqwim yang dibenarkan oleh syariat.
Usaha taqwim merupakan ikhtiar manusia untuk memilih manusia yang terbaik di antara sekumpulan manusia yang baik.
taqwim tidak ditujukan untuk :
a. Menilai seseorang dalam konotasi negatif.
b. Merendahkan dan meremehkan orang lain.
Usaha taqwim lebih ditujukan untuk :
a. Memilih orang yang tepat untuk menerima suatu amanah berdasarkan :
1. Tingkatan kemampuannya.
2. Daya juangnya.
3. Daya tahannya.
4. Istiqamahnya.
5. Kesabarannya.
b. Memilih orang yang paling sesuai untuk memikul beban dakwah yang semakin berat.
c. Menunjukkan kepada orang yang paling tepat menerima amanah untuk mengaktifkan aktivitas dakwah.
Inilah panduan teknik ketika kita akan mempromosi dan memilih seseorang seperti mana ketika kita memilih calon pemimpin atau juga memilih calon pasangan hidup.
Ya Allah, kurniakanlah petunjuk kepada kami sehingga kami mampu memilih yang terbaik di antara hamba-hambaMu untuk memikul tanggung jawab dakwah yang semakin berat. Mudahkanlah kami dalam menilai kekuatan dan kelemahan saudara-saudara kami sehingga dakwah ini mampu dipikul oleh mereka yang benar-benar layak mendapat pertolonganMu.
0 comments:
Alhamdulillah wa'syukurilah Bersyukur padamu ya Allah Kau jadikan kami saudara, Indah dalam kebersamaan