Home » » Islam Menjamin Kebebasan Rakyat Menyampaikan Pendapat

Islam Menjamin Kebebasan Rakyat Menyampaikan Pendapat

Written By Dedi E Kusmayadi Soerialaga on Senin, 14 Juli 2014 | 7/14/2014

Hak kebebasan ditetapkan sebagai asas dari langit seiring turunnya Islam, untuk meninggikan manusia di muka bumi ini dan mengokohkan sisi kemanusiaan. Tak ada satu hari pun dari bentuk kelahiran kecuali selalu berinteraksi dengan kumpulan masyarakat, atau memberikan nilai pergerakan yang dituntut oleh mereka yang merasa terhalangi kebebasannya, sebagaimana realitas yang banyak terjadi pada manusia di zaman sekarang.

Kebebasan berpendapat merupakan hak setiap individu yang bisa dipandang dari beberapa urusan, baik yang umum maupun khusus. Pendapat dan apa yang didengar dari pihak lain, merupakan hak setiap individu dalam menghormati pemikiran serta perasaan, selagi tidak berkaitan dengan permusuhan kepada hak orang lain.

Sedangkan kebebasan berpendapat dalam makna yang seperti ini merupakan hak jaminan dan ketetapan bagi setiap Muslim. Syariat Islam menetapkan hak-hak dirinya. Apa yang ditetapkan syariat Islam atas hak setiap individu, tidak ada seorang pun yang menguasai keputusan atau memaksa dan mengingkarinya. Bahkan, kebebasan berpendapat wajib atas setiap Muslim dan tidak bisa terlepas dari dirinya. Allah telah mewajibkan nasihat dan perintah pada yang baik dan mencegah kemungkaran. Tidaklah mungkin menegakkan kewajiban syariat ini selagi seorang Muslim tidak bisa bebas memenuhi haknya dalam mengemukakan pendapat dan kebebasannya dalam hak tersebut. Kemerdekaan dan kebebasan berpendapat bagi seorang Muslim merupakan sarana untuk menegakkan kewajiban ini. Tidaklah kewajiban amar makruf nahi mungkar ditegakkan kecuali dengan kebebasan berpendapat. Maka, memberikan kebebasan dalam berpendapat adalah perkara yang wajib.

Islam memberikan toleransi akan kebebasan berpendapat dalm segala ruang lingkup perkara dunia, baik dalam urusan umum maupun kelompok. Hal itu tampak jelas terlihat dalam kisah Saad bin Muadz dan Saad bin Ubadah ketika Rasulullah mengajak keduanya untuk bermusyawarah dalam perjanjian dengan Bani Ghathafan untuk memberikan upeti sepertiga hasil dari kurma Madinah hingga mereka bersedia untuk keluar dari perjanjian pada saat Perang Ahzab.

Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, “Hai Muhammad, bagikan kepada kami kurma dari Madinah.” Dikatakan juga, “Sampai memenuhi ketinggian sekian dan sekian.” Lantas beliau mengutus Saad bin Muadz, Saad bin Ubadah, Saad bin Rabi’, Saad bin Khaitsamah, saad bin Mas’ud, seraya berkata, “Sesungguhnya aku telah mengetahui bahwa orang-orang Arab telah melempar kalian dengan satu panah (bersatu padu), dan Harits telah memberikan pada kalian pilihan untuk membagikan kepadanya kurma Madinah. Jika kalian bersepakat untuk membayar kepadanya selama satu tahun ini sampai kalian melihat urusan sesudahnya.”

Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, jika ini wahyu dari langit maka kami tunduk kepada perintah Allah. Jika ini pendapat atau kehendak Anda, kami harus mengikut dan menurut kepada kehendak Anda tersebut? Namun jika Anda ingin mengetahui pendapat kami, maka demi Allah, kami melihat kita dengan mereka sama, tidaklah kami akan memberikan kurma kecuali dengan membeli atau kesepakatan (jual beli).”271

Hadits di atas dan nash lainnya juga berhubungan dalam nasihat pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar.” (Al-Baqarah: 71), juga sabda Rasul, “Agama itu nasihat.” Kami bertanya, “Nasihat siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Nasihat kepada kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslimin dan seluruh umat.”272

Imam Nawawi273 dalam syarah hadits ini mengatakan, nasihat kepada pemimpin kaum Muslimin adalah menolong mereka pada kebenaran, taat kepada mereka dalam kebenaran tersebut, memerintah mereka pada kebenaran, melarang mereka menyelisihinya, mengingatkan mereka dengan lemah lembut dan menunjukkan mereka atas apa yang mereka lalaikan, tidak menyampaikan hak-hak kaum Muslimin.274

Rasulullah juga bersabda, “Jangan melarang seseorang memberikan hak kepada manusia untuk mengatakan kebenaran jika dia mengetahuinya.”275 Juga dalam sabdanya, “Jihad paling mulia adalah mengemukakan kalimat yang benar (haq) di hadapan penguasa yang sewenang-wenang.”276

Kewajiban untuk menegakkan amar makruf dan nahi mungkar mengharuskan adanya kebebasan berpendapat, dimana Allah Ta’ala telah memerintahkan kewajiban ini. Artinya, memberikan mereka hak mengemukakan pendapat, jika melihat suatu kebaikan atau kemungkaran beruap perintah dan larangan. Begitu pula wajib melaksanakan musyawarah dengan para pemimpin atau penguasa yang mewajibkan mereka untuk bebas mengemukakan pendapat itu.

Kebebasan berpendapat ini telah dipraktikkan oleh sejarah Islam sejak kurun waktu yang sangat panjang dengan ama menakjubkan. Satu contoh, seorang sahabat mulia, Habab bin Mundzir Radhiyallahu Anhu memberikan pendapatnya secara pribadi dalam mengatur strategi pada Perang Badar yang tidak sesuai dnegan apa yang dipandang oleh Rasul, lantas Rasul pun mengikuti pendapatnya itu. Sebagaimana pula ungkapan pendapat sebagian sahabatnya tentang peristiwa haditsul Ifki, di antara mereka ada yang mengisyaratkan kepada nabi untuk menalak Aisyah kecuali bahwa Al-Qur’an melepaskannya dari tuduhan fitnah tersebut. Masih banyak lainnya dari pendapat sahabat dan sesudah mereka yang mengemukakan pendapat secara bebas.

Karena itu, apabila kebebasan berpikir merupakan hak yang telah ditetapkan dalam syariat Islam, maka seseorang tidak boleh menyakiti hak kebebasan berpikir orang lain demi memaksakan kehendaknya. Karena itu, syariat memberikan izin untuk mengemukakan pendapatnya. Sebagaimana seorang wanita menolak pendapat Umar bin Kaththab padahal ketika itu dia sedang berkhutbah di masjid tentang masalah mahar. Namun Umar tidak melarangnya, bahkan diketahui pendapat yang benar adalah pendapat perempuan tersebut, dengan perkataan Umar, “Perempuan ini benar dan Umar yang salah.”277

Karena itu, sepatutnya seorang Muslim menggunakan haknya dalam mengemukakan pendapat diiringi amanah dan kejujuran. Dengan demikian, dia berkata dengan sesuatu yang menurutnya benar, meski kebenaran itu perkara sulit bagi dirinya. Tujuan kebebasan berpendapat adalah menjelaskan yang hak dan kebenaran serta membawa manfaat bagi yang mendengar. Tujuan kebebasan berpendapat bukan untuk berkelit dan menutup-nutupi kebenaran. Hendaklah dia juga menjelaskan pendapatnya itu untuk kebaikan, tidak bermaksud zhalim dalam pendapatnya juga tidak bermaksud riya atau pamer, menghembus-hembuskan keraguan (kebenaran), memakai gaun kebenaran dengan kebatilan, atau merendahkan hak-hak manusia, membesar-besarkan keburukan dan menguasai urusan, merendahkan kebaikan, meremehkan urusan serta menampakkan kehinaan mereka, hingga manusia merasa terpengaruh dan memetik hasilnya.

Karena itu, kebebasan berpendapat sebagaimana yang ditetapkan syariat Islam, merupakan wasilah penting dari yang diungkap oleh peradaban, sekaligus wasilah mencapai kesejahteraan.


=========
Footnote:
271 HR. Thabarani, Al-Mu’jam Al-Kabir (5416), Al-Haitsami mengatakan, “Perawi Al-Bazar dan Thabarani terdapat Muhammad bin Amr, sedangkan haditsnya hasan, sedang sisa perawi lainnya percaya.” Lihat: Majma’ Az-Zawaaid wa Manbiul Fawaaid (6/119). Lihat, Ibnul Qayyim, Zaadul Maad (3/230).
272 HR. Muslim dari Tamim Ad-Daari, Kitab Al-Iman, Bab Bayan anna Ad-Din Nasihah (82), Abu Dawud (4944), Nasa’i, (4197), dan Ahmad (16982).
273 Nama lengkapnya Abu Zakariya Yahya bin Syarf An-Nawawi, Muhyidin (631-676 H / 1233-1277 M). seorang ulama dalam bidang fikih dan hadits. Lahir dan wafat di Nawa, Suriah, tempat yang dinisbatkan menjadi namanya. Diantara kitabnya yang termasyhur adalah Minhaj fii Syarh Shahih Muslim dan Riyadhus Shalihin. Lihat: Al-Bidayah wa Nihayah. Az-Zakali, Al-A’laam (8/149).
274 An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj (2/37).
275 Tirmidzi dari Abu Said Al-Khudri, Kitab Al-Fitan, Bab Maa Jaa’a Maa Akhbaran Nabi Ashabihi bimaa huwa Kain ilaa Yaumil Qiyamah (2191), Ibnu Majah (3997), dishahihkan oleh Al-Albani. Lihat: Silsilah Ash-Shahihah (168).
276 At-Tirmidzi dari Abu Said Al-Khudri, Kitab Al-Fitan, Maa Jaa’a Afdhal Al-jihad Kalimat Al-Adl ‘inda Shilthan Jaair (2174), Abu Dawud (4344), Nasa’i, (4209), Ibnu Majah (4011), dishahihkan oleh Al-Albani. Lihat: Shahih Al-Jaami’ (2209).
277 Lihat: Al-Qurthubi, Al-Jaami’ Al-Ahkam Al-Qur’an (5/95).

Dari buku Raghib As Sirjani, Prof. Dr., Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Pustaka Al Kautsar, 2011. (Terjemahan dari buku Madza Qaddamal Muslimuna lil ‘Alam Ishamaatu al Muslimin fi al Hadharah al Insaniyah, Mu’asasah Iqra’. 2009.)

0 comments:

Alhamdulillah wa'syukurilah Bersyukur padamu ya Allah Kau jadikan kami saudara, Indah dalam kebersamaan

UP DATE VIDEO PKS

TOTAL LAYANGAN BULAN INI

TRENDING

 
Copyright © PKS DPC Sumedang Utara - All Rights Reserved
    Facebook Twitter YouTube