Pada 13 Oktober tahun lalu, di sela-sela acara silaturahmi dengan wartawan di Malang, Jawa Timur, ahli hukum tata negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pernah menyatakan, sebaiknya pemilihan kepala daerah (pilkada) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dikembalikan lagi ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
"Secara substansi memang akan lebih bila dikembalikan lagi ke DPRD, sebab pemilihan kepala daerah secara langsung itu lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya," ujarnya seperti dilansir Asatunews.
Mudarat pertama soal anggaran. Mahfud MD memberi contoh pilkada untuk memilih gubernur. Jika anggota DPRD-nya 100 orang, untuk memenangkan pilkada cukup hanya menggenggam 51 suara dan anggaran yang dikeluarkan juga tidak banyak, cukup 51 wakil rakyat untuk mengamankan suaranya. Lain halnya dengan pilkada langsung, katanya lagi, yang harus menyediakan anggaran cukup besar, belum lagi calon yang masih menjabat (petahana) pasti akan memanfaatkan dengan maksimal potensi dan fasilitas yang ada. Jumlah rakyat yang disuap juga pasti akan berakibat terhadap rusaknya mental masyarakat.
Mudarat kedua, lanjutnya, adalah biaya sosial untuk masyarakat yang lebih besar lagi dan yang paling dikhawatirkan adalah adanya pembelahan sosial yang berlangsung lama. "Gubernur atau wali kota yang menjadikan masyarakat terbelah pada saat pemilihan sudah lama diganti, namun masyarakat pendukung masing-masing calon masih bermusuhan. Kondisi ini akan merusak tatanan sosial kemasyarakatan," ujarnya. Karena itu, tambahnya, akan lebih baik pilkada dikembalikan lagi ke DPRD agar tidak terlalu banyak mudaratnya dan uang negara yang dipakai dalam penyelenggaraan pilkada langsung ini juga bisa dipangkas.
Mudarat ketiga, Mahfud menilai, sengketa dan pengaduan terkait pilkada juga marak akhir-akhir ini. "Mungkin ada pelanggaran-pelanggaran atau kecurangan, namun itu sulit dibuktikan, sehingga ranahkan ke pelanggaran pidana, namun pidana itu sendiri tidak membatalkan hasil pilkada," ungkapnya pada tahun 2013 itu. [yq]
"Secara substansi memang akan lebih bila dikembalikan lagi ke DPRD, sebab pemilihan kepala daerah secara langsung itu lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya," ujarnya seperti dilansir Asatunews.
Mudarat pertama soal anggaran. Mahfud MD memberi contoh pilkada untuk memilih gubernur. Jika anggota DPRD-nya 100 orang, untuk memenangkan pilkada cukup hanya menggenggam 51 suara dan anggaran yang dikeluarkan juga tidak banyak, cukup 51 wakil rakyat untuk mengamankan suaranya. Lain halnya dengan pilkada langsung, katanya lagi, yang harus menyediakan anggaran cukup besar, belum lagi calon yang masih menjabat (petahana) pasti akan memanfaatkan dengan maksimal potensi dan fasilitas yang ada. Jumlah rakyat yang disuap juga pasti akan berakibat terhadap rusaknya mental masyarakat.
Mudarat kedua, lanjutnya, adalah biaya sosial untuk masyarakat yang lebih besar lagi dan yang paling dikhawatirkan adalah adanya pembelahan sosial yang berlangsung lama. "Gubernur atau wali kota yang menjadikan masyarakat terbelah pada saat pemilihan sudah lama diganti, namun masyarakat pendukung masing-masing calon masih bermusuhan. Kondisi ini akan merusak tatanan sosial kemasyarakatan," ujarnya. Karena itu, tambahnya, akan lebih baik pilkada dikembalikan lagi ke DPRD agar tidak terlalu banyak mudaratnya dan uang negara yang dipakai dalam penyelenggaraan pilkada langsung ini juga bisa dipangkas.
Mudarat ketiga, Mahfud menilai, sengketa dan pengaduan terkait pilkada juga marak akhir-akhir ini. "Mungkin ada pelanggaran-pelanggaran atau kecurangan, namun itu sulit dibuktikan, sehingga ranahkan ke pelanggaran pidana, namun pidana itu sendiri tidak membatalkan hasil pilkada," ungkapnya pada tahun 2013 itu. [yq]
0 comments:
Alhamdulillah wa'syukurilah Bersyukur padamu ya Allah Kau jadikan kami saudara, Indah dalam kebersamaan