Menjadi ‘murabbi’ merupakan satu nikmat yang tersendiri dalam berdakwah karena dengan cara itulah, kita telah melengkapkan diri kita dari sudut tarbiyah yang bersepadanan yaitu :
a. Membina.
b. Dibina.
Itu menjadi suatu yang penting karena :
1. Menjadi murabbi adalah kewajiban (syar’ie dan jamaah).
2. Menjadi murabbi adalah sunnah rasul.
3. Menjadi murabbi adalah wasilah meningkatkan iman.
2. Menjadi murabbi adalah sunnah rasul.
3. Menjadi murabbi adalah wasilah meningkatkan iman.
Walau begitu, menjadi murabbi bukan berarti kita telah sampai di puncak tarbiyah lantas melupakan sifat asas untuk terus belajar.
Ada satu formula yang mungkin dapat menumbuhkan keyakinan diri kepada seorang murabbi yaitu :
Keyakinan Diri = Fikiran Positif + Potensi Diri + Tindakan
Mengapa murabbi perlu mempunyai fikiran yang positif?
a. Yakin bahwa pekerjaan menjadi murabbi adalah penting.
Yakin bahwa fitrah setiap manusia adalah menjadi murabbi. Hindarkan alasan tidak mahu menjadi murabbi kerana sebahagian besar alasan itu adalah fikiran negatif dan dibuat-buat. Yakin bahwa kegagalan menjadi murabbi pada satu ketika boleh menjadi pengajaran menuju kejayaan.
Di dalam diri setiap murabbi, ada potensi di mana :
1. Fokuskan diri pada kelebihan, bukan pada kekurangan.
Perbaikilah kekurangan-kekurangan yang dimiliki dengan cara belajar dan berlatih. Tumbuhkan kesadaran bahwa manusia bisa menjadi lebih baik dari apa yang disangkakan.
Akhirnya murabbi perlu melakukan tindakan :
a. Segera bertindak dan jangan terlalu banyak membuat pertimbangan.
- Buangkan ketakutan dalam diri.
- Yakinlah bahwa aktivitas membina itu penting.
- Yakinlah bahwa menunda bertindak berarti memperbesarkan kegagalan.
Hasilnya adalah satu keyakinan diri akan tumbuh dalam diri murabbi.
Oleh karena itu, murabbi yang baik adalah murabbi yang memiliki semangat untuk terus belajar sehingga ia terhindar dari sikap kejumudan atau kekakuan dalam berfikir.
Kita juga hendaklah belajar mengenali mutarabbi (binaan) kita secara mendalam dan berobjektif.
Selain itu, kita juga perlu :
1. Meletakkan kedudukan mereka sebagaimana semestinya.
2. Mendengar dan mempertimbangkan suaranya.
3. Menghargai keberadaannya.
Kita juga hendaklah belajar mengenali mutarabbi (binaan) kita secara mendalam dan berobjektif.
Selain itu, kita juga perlu :
1. Meletakkan kedudukan mereka sebagaimana semestinya.
2. Mendengar dan mempertimbangkan suaranya.
3. Menghargai keberadaannya.
Walau bagaimanapun, objek tarbiyah dan dakwah ini adalah tetap manusia. Maka sudah semestinya kita memanusiakan mereka dan bukan menganggap mereka milik kita yang dapat kita perlakukan apa saja tanpa asas yang syari’e.
Sudah menjadi kewajiban kita sebagai murabbi untuk mengarahkan mereka kepada perbaikan dan kebaikan karena memang tujuan tarbiyah adalah memandu dan membawa seseorang untuk menjadi seorang muslim yang soleh dan muslih.
Seorang yang pakar dalam hal-ihwal tarbiyah telah menyebutkan empat perkara yang menjadi asas kepada tujuan halaqah/usrah :
Sudah menjadi kewajiban kita sebagai murabbi untuk mengarahkan mereka kepada perbaikan dan kebaikan karena memang tujuan tarbiyah adalah memandu dan membawa seseorang untuk menjadi seorang muslim yang soleh dan muslih.
Seorang yang pakar dalam hal-ihwal tarbiyah telah menyebutkan empat perkara yang menjadi asas kepada tujuan halaqah/usrah :
1. Tercapainya sepuluh muwasofat tarbiyah.
2. Tercapainya ukhuwah islamiyah.
3. Tercapainya produktiviti dakwah.
4. Tercapainya pengembangan potensi mad’u (binaan)
Ketika kita telah memahami tujuan ini, kita sudah tentu sadar bahwa semakin jauh keterlibatan ‘mad’u’/obyek dakwah kita dalam tarbiyah akan membawanya pada suatu kesadaran untuk lebih produktif dalam berdakwah.
Ini adalah kerana dakwah adalah kewajiban sekaligus hak mereka untuk memenuhi keperluan tarbiyah mereka.
Kita memahami bahwa walau di manapun kita berada seperti di sekolah, di institusi pengajian tinggi, di pejabat, di institusi pemerintahan sama-sama memerlukan sumber manusia sebagai penggerak roda dakwahnya.
Untuk itu, biarkan mereka berkembang dan mempelajari medan dakwah di sekitaran masing-masing dengan terlibat di dalamnya karena di sinilah letaknya pembelajaran bagi mereka untuk menjadi lebih dewasa dalam menghadapi perubahan iklim dakwah yang berbeda antara satu sama lain.
Biarlah mereka melebarkan sayap dakwah di manapun mereka berada karena itu adalah baik untuk mereka.
Tugas kita adalah menguatkan mereka dan bukan melemahkan mereka dengan melarang mereka aktif di sekitaran masing-masing walaupun kadang-kadang kita khwatir nantinya mereka tidak fokus dan lemah untuk memegang amanah yang lebih besar bahkan di situlah kita seharusnya mengarahkan mereka agar dapat lebih istiqamah dengan menumbuhkan rasa tanggungjawab terhadap akibat pilihan-pilihan mereka.
Dengan kata lain, biarkan mereka mengambil keputusan sendiri tanpa perlu kita campur tangan.
Namun, bagaimana jika mereka salah dalam mengambil keputusan? Sebenarnya di saat itulah mereka belajar.
Ini adalah kerana dakwah adalah kewajiban sekaligus hak mereka untuk memenuhi keperluan tarbiyah mereka.
Kita memahami bahwa walau di manapun kita berada seperti di sekolah, di institusi pengajian tinggi, di pejabat, di institusi pemerintahan sama-sama memerlukan sumber manusia sebagai penggerak roda dakwahnya.
Untuk itu, biarkan mereka berkembang dan mempelajari medan dakwah di sekitaran masing-masing dengan terlibat di dalamnya karena di sinilah letaknya pembelajaran bagi mereka untuk menjadi lebih dewasa dalam menghadapi perubahan iklim dakwah yang berbeda antara satu sama lain.
Biarlah mereka melebarkan sayap dakwah di manapun mereka berada karena itu adalah baik untuk mereka.
Tugas kita adalah menguatkan mereka dan bukan melemahkan mereka dengan melarang mereka aktif di sekitaran masing-masing walaupun kadang-kadang kita khwatir nantinya mereka tidak fokus dan lemah untuk memegang amanah yang lebih besar bahkan di situlah kita seharusnya mengarahkan mereka agar dapat lebih istiqamah dengan menumbuhkan rasa tanggungjawab terhadap akibat pilihan-pilihan mereka.
Dengan kata lain, biarkan mereka mengambil keputusan sendiri tanpa perlu kita campur tangan.
Namun, bagaimana jika mereka salah dalam mengambil keputusan? Sebenarnya di saat itulah mereka belajar.
Ini seperti kata-kata seorang pujangga : karena lebih cepat seseorang merasakan kesalahan, lebih cepat pula ia belajar untuk menjadi benar.
Bayangkan ketika kita menjadi ibu dan bapa, lalu anak kita yang masih kecil senantiasa kita dukung karena tidak sanggup melihatnya terjatuh ketika belajar berjalan. Jika begitu, maka hasilnya, sampai dewasa pun mereka tidak akan dapat berjalan.
Oleh sebab itu, selama mana dalam persekitaran kebaikan, biarkan saja mereka berekspresi seoptimum mungkin.
Bayangkan ketika kita menjadi ibu dan bapa, lalu anak kita yang masih kecil senantiasa kita dukung karena tidak sanggup melihatnya terjatuh ketika belajar berjalan. Jika begitu, maka hasilnya, sampai dewasa pun mereka tidak akan dapat berjalan.
Oleh sebab itu, selama mana dalam persekitaran kebaikan, biarkan saja mereka berekspresi seoptimum mungkin.
Syeikh Mustafa Masyhur berkata : Murabbi perlu mendidik ‘mad’u’/obyek dakwahnya (binaannya) agar memahami cara beramal jama’ie atau tabiat amal dalam sebuah jamaah serta tuntutan-tuntutan dan syarat-syarat yang mesti dipenuhi, agar terjamin keselamatan dalam perjalanan dan potensi yang dapat disatukan serta produktivitas yang dapat ditingkatkan.”
Ya, kita perlu menanamkan kefahaman kepada mereka, bukan menyuntikkan fikrah ketaatan yang dibangunkan melalui ‘taklid’ buta atau mengagung-agungkan murabbi. Jika begitu keadaannya, mereka akan berfikir bahwa murabbi adalah segala-galanya dan apa yang dikatakan oleh murabbi adalah sesuatu yang mutlak dan tidak boleh disangkal atau diganggu gugat.
Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan berkenaan beberapa perkara yang menjadi penyebab kepada kegagalan tarbiyah :
1. Tarbiyah dipandang hanya semata-mata sebagai pemindahan bahan-bahan.
2. Persepsi bahwa ‘murabbi’ adalah segala-galanya bagi ‘mad’u’/obyek dakwah. Mungkin ‘murabbi’ akan merasa aib jika ‘mad’u’/obyek dakwah memiliki pengetahuan yang lebih baik daripada ‘murabbi’ dalam beberapa bidang.
Ya, kita perlu menanamkan kefahaman kepada mereka, bukan menyuntikkan fikrah ketaatan yang dibangunkan melalui ‘taklid’ buta atau mengagung-agungkan murabbi. Jika begitu keadaannya, mereka akan berfikir bahwa murabbi adalah segala-galanya dan apa yang dikatakan oleh murabbi adalah sesuatu yang mutlak dan tidak boleh disangkal atau diganggu gugat.
Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan berkenaan beberapa perkara yang menjadi penyebab kepada kegagalan tarbiyah :
1. Tarbiyah dipandang hanya semata-mata sebagai pemindahan bahan-bahan.
2. Persepsi bahwa ‘murabbi’ adalah segala-galanya bagi ‘mad’u’/obyek dakwah. Mungkin ‘murabbi’ akan merasa aib jika ‘mad’u’/obyek dakwah memiliki pengetahuan yang lebih baik daripada ‘murabbi’ dalam beberapa bidang.
3. Tarbiyah dianggap sebagai proses indoktrinasi dan dominasi. ‘Murabbi’ menyerlahkan suatu persepsi bahwa kejayaan tarbiyah adalah ketika ‘mad’u’/obyek dakwah memiliki ‘kesetiaan’ dan menjadi pendukung ‘murabbi’.
4. Sistem dan metodologi tarbiyah dipersepsikan sebagai suatu perkara yang tetap dan tidak akan berubah.
5. Kecenderungan untuk melakukan kloning murabbi sehingga yang menjadi ‘muwasofat’ adalah apakah mad’u memiliki hobi, selera atau kecenderungan yang sama dengan murabbi-nya atau belum.
Sekali lagi, kita hanyalah mengarahkan dan jangan sampai diri kita membina, namun orientasinya agar binaan kita hanya dapat aktif di tempat-tempat tertentu saja.
Namun, fikirkanlah bagaimana kita dapat membina sehingga binaan kita akan menjadi lebih produktif berdakwah di manapun mereka berada seperti di sekolah, di institusi pengajian tinggi, di sisi keluarga hingga dalam masyarakat yang lebih luas.
Ini adalah kerana kita hendak membangun seorang muslim pendakwah, bukan muslim yang hanya menjadi aktivis dakwah di tempat-tempat tertentu sahaja.
Jangan sampai mereka merasa sukar untuk berdakwah lantaran kita kurang peka dan bersifat subjektif dalam menilai mereka.
Selama mana mereka mampu memberikan sumbangan yang terbaik di jalan dakwah ini, kitalah yang seharusnya berada di garisan hadapan untuk mendukung dan membantu mereka.
Allh swt berfirman : “Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali Imran : 159)
Firman Allah swt lagi : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (QS An-Nahl : 125)
Di sudut lain, kita memang memiliki hak untuk ditaati dan diberi kepercayaan (tsiqah) oleh ‘mad’u’ kita kerana, selain sebagai guru dan sahabat, diri kita juga berperanan sebagai pemimpin dan orang tua bagi mereka.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah ketika kita kurang tepat dalam menempatkan hak dan kewajiban kita sebagai ‘murabbi’ secara seimbang apalagi memanfaatkan hak ini untuk menyalurkan keegoan peribadi yang tidak ‘syar’ie’.
Ketika kita membangunkan kefahaman dan cara berfikir yang benar kepada obyek dakwah kita, Insya Allah, ketaatan dan kepercayaan akan terbangun dengan sendirinya tanpa perlu kita minta dan mereka pun akan mengerti seperti apakah arahan kita yang perlu ditaati dan manakah yang boleh ditegur.
Budaya menegur perlu ditumbuhkan secara timbal balik dalam halaqah / usrah. Bukan hanya murabbi yang berani menegur ‘mad’u’/obyek dakwah, tapi juga ‘mad’u’/obyek dakwah berani menegur murabbi-nya.
Namun, budaya menegur ini perlu dilakukan dalam suasana kasih sayang, kebenaran dan kesabaran.
Seringkali budaya teguran ini padam dalam halaqah / usrah karena sikap murabbi yang autoritatif dan posesif serta merasa dirinya sajalah yang paling benar dan cepat tersinggung jika ditegur.
Akhirnya, ‘mad’u’/obyek dakwah jadi segan dan enggan menegur murabbi-nya.
Apa akibatnya?
Akibatnya, ‘mad’u’/obyek binaan akan menjadi orang yang tidak yakin kepada diri sendiri dalam menegur dan menyampaikan pendapatnya.
Murabbi pula akan menjadi :
a. Tidak sedar akan keadaan dirinya apakah dirinya benar atau salah dalam membina ‘mad’u’/obyek binaan-nya.
b. Tidak tahu apakah dirinya merasa peduli atau tidak dengan orang lain.
c. Tidak tahu apakah dirinya berada dalam kebenaran atau tidak.
Selama mana tidak bertentangan dengan syara, mad’u (binaan) wajib mentaati murabbi-nya, walaupun bertentangan dengan pendapatnya sendiri.
Namun perlu diingat bahwa ketaatan mad’u kepada murabbi bukan berarti menutup laluan musyawarah, saranan dan teguran.
Hal itu tetap perlu dilaksanakan agar keputusan kita akan lebih bijaksana.
Dengan wujudnya ketaatan ‘mad’u’ kepada murabbi, maka ianya akan lebih memudahkan usaha untuk membina, mengarahkan, menasihati dan memobilisasi mereka untuk kepentingan dakwah dan jamaah.
Syeikh Mustafa Masyhur berkata : “Sangat bermanfaat apabila al akh ‘murabbi’ memberi kesempatan kepada ‘mad’u’ (binaan) untuk bertanya dan meminta penjelasan, meminta agar tiada seorang pun dari mereka menyimpan sesuatu yang mengganggu jiwanya tanpa berusaha meminta penjelasan tentangnya dan memberi kesempatan pada mereka untuk bertanya empat mata bagi yang menghendaki, agar hilang rasa tidak enak”.
Ketika kita diberi nikmat oleh Allah swt untuk menjadi ‘murabbi’, hendaklah kita memahami bahwa ‘mad’u’ (binaan) kita hanyalah sebuah pemberian dan bukan kepunyaan kita.
Di saat ‘halaqah / usrah’ berjalan, bukan hanya ‘mad’u’ (binaan) kita yang ditarbiyah, tetapi diri kita sebagai ‘murabbi’ juga melalui proses untuk lebih bersabar, bijaksana dan berfikiran lebih terbuka dalam membina.
Sudah semestinya kita perlu menempatkan cinta dan perhatian kita kepada ‘mad’u’ (binaan) secara seimbang kerana cinta memerlukan jarak yang tepat untuk diluahkan. Ia tidak terlalu jauh serta tidak terlalu dekat. Tidak cuai serta tidak juga bersikap ‘autoritatif’.
Ia seumpama mencintai bunga mawar di mana janganlah kita petik dengan alasan ingin melindunginya kerana dengan yang demikian, kitalah yang sesungguhnya menghancurkan mawar tersebut.
Tapi, buatlah pagar di sekelilingnya agar tidak ada haiwan atau orang-orang yang hendak merosakkannya. Kemudian siramilah ia dengan sabar agar ia dapat tumbuh dengan indah dan mampu mengembang dengan baik.
Akhirnya marilah kita renung kata-kata Imam Hasan Al-Banna : “Dakwah ini tidak mengenal sikap lemah. Ia hanya mengenal satu sikap yaitu penyerahan sepenuhnya. Siapa yang bersedia untuk itu, maka ia mesti hidup bersama dakwah dan dakwah pun melebur dalam dirinya. Sebaliknya, barangsiapa yang lemah dalam memikul beban ini, ia terhalang dari pahala besar mujahid dan tertinggal bersama orang-orang yang duduk. Lalu Allah swt akan mengganti mereka dengan generasi lain yang lebih baik dan lebih sanggup memikul beban dakwah ini”
Ya Allah, jadikanlah kami sebagai murabbi yang sentiasa belajar untuk membaiki diri dan meningkatkan kepribadian kami.
0 comments:
Alhamdulillah wa'syukurilah Bersyukur padamu ya Allah Kau jadikan kami saudara, Indah dalam kebersamaan