“Jika ada lebih banyak pemimpin muslim dapat berpikir dan bertindak seperti Erdogan, berani melawan sikap bisu dunia, maka dunia islam tidak akan dalam kondisi menyedihkan seperti sekarang ini..” (Ajjaz Zaka Sayed, Kolumnis Arab News dan Gulf News)
Lontaran kalimat Ajjaz Zaka Sayed di atas agaknya menjadi kerisauan kita pada saat ini. Terlebih ketika kita melihat bagaimana kondisi umat muslim di negara luar Indonesia. Lihatlah Afrika tengah, Mesir, Suriah, ataupun negara-negara lain yang mengalami nasib tak jauh berbeda. Kita hanya merasa prihatin dan berduka dengan kejadian yang mengenaskan itu. Dan tak ada gunanya kita mengutuki nasib. Yang kita butuhkan adalah hadirnya pemimpin muslim yang besar, yang memiliki “taring” bagaikan singa, memiliki “mata” bagaikan elang, yang dia disegani oleh lawan dan dicintai oleh kawan. Dia yang mampu mengahdirkan solusi atas segala persoalan umat Islam dewasa ini.
Manusia besar itu bisa siapa saja, Kawan. Bisa kau, aku, ataupun mereka. Negara ini, Indonesia dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia harusnya mampu menjadi “industri” untuk menciptakan manusia-manusia besar itu. Terlebih lagi para pemudanya yang saat ini berada pada masa produktif. Mereka harus belajar bagaimana menjadi besar untuk bangsa yang besar ini. Dari dulunya Indonesia dan manusia Indonesia itu besar dibandingkan bangsa yang lain, jadi jangan kita mengecilkan diri kita sendiri.
Kawan, kau lihatlah lagi sejarah bangsa Indonesia, kau akan temukan kebesaran manusianya. Sejarah merupakan biografi manusia-manusia besar. Mempelajarinya agar kita menemukan sebuah pola yang kita bisa jadikan model untuk menjadikan setiap kita dapat menjadi manusia yang besar di negeri dengan jumlah umat muslim terbesar ini. Bukan untuk romantika masa lalu, apalagi melankoli dramatis.
Kita pun tidak kekurangan manusia besar dalam sejarah Islam sesungguhnya. Kita mengenal Abu Bakr, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya dengan kebesarannya masing-masing hingga saat ini. Hanya karena Islam mereka menjadi mulia dan menjadi bahan kajian hingga saat ini. Apakah mereka bukan manusia? Mereka manusia seperti kita, tapi mereka menyejarah, Kawan.
Saat ini Indonesia membutuhkan kita semua, seluruh anak sah bangsa untuk membawa arah baru Indonesia, untuk memberikan kesejahteraan lahir dan batin bangsanya. Sudah saatnya kita membentuk dan memunculkan diri menjadi manusia muslim yang besar dengan cita rasa Indonesia untuk Indonesia dan dunia. Hal ini harus menjadi bagian obsesi dari ruh zaman kita saat ini, karena Indonesia membutuhkan nakhoda baru. Bukan hanya satu orang, tapi seluruh anak bangsa, Kawan.
Ada beberapa hal yang perlu kita lakukan untuk menciptakan manusia seperti itu, terlepas dari konsep diri sebagai muslim seutuhnya dan hal yang lainnya. Paling tidak, ada dua hal yang bisa menjadi bahan pikiran kita bersama sebagai muslim dengan cita rasa Indonesia:
Cara Pandang Demokratis
Kita harus memiliki cara pandang yang tidak antipati dengan pemikiran orang lain, apapun jenis pemikirannya. Tapi, kita harus memiliki identitas diri yang jelas sebagai muslim di satu sisi, dan mampu mengolah semua pemikiran sebagai suatu kekayaan intelektual yang harus dihormati dan tidak harus untuk diikuti.
Hal ini kurang lebih seperti yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada orang di luar Islam “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Hal ini menempatkan kita pada posisi yang terang dengan prinsip di hadapan orang lain. Namun, kita juga mampu menerima cara pandang orang lain yang tidak bertentangan dengan Aqidah Islamiyah, sehingga kita mampu membudayakan sikap saling menghargai di antara orang yang berbeda dengan diri kita.
Berkehendak untuk Bersama dengan Orang Lain di luar Kita
Hal ini harus ditumbuhkan di kalangan setiap individu muslim, terlebih lagi kepada kita sebagai kader dakwah. Bekerja sama dengan orang lain dalam hal bermuamalah merupakan satu kewajaran yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi, ketika kita ingin mengelola Indonesia yang besar ini, kita membutukhan tangan-tangan seluruh anak bangsa untuk bekerja bersama kita, termasuk non-muslim, selama mereka memiliki semangat yang sama untuk membawa kebaikan bagi bangsa Indonesia.
Kita bisa belajar dari sejarah Nabi SAW ketika pertama kali menjadikan Madinah sebagai pusat dari Islam saat itu. Bukankah Sang Nabi juga bekerja sama membangun koalisi dengan golongan penduduk lokal di luar kaum muslimin?
Semangat ini ada baiknya kita usahakan untuk kita terapkan dalam diri kita, agar kita mampu mewakili seluruh kepentingan golongan yang ada pada bangsa ini. Mereka hanya akan percaya kepada kita, kalau ada bukti yang nyata. Semua itu melalui kerja-kerja kita, dan semangat perubahan untuk menuju ke sana, bukan hanya sekedar kata yang kosong tanpa realita.
“Kata-kata takkan pernah menyentuh hati dan menggerakkan jiwa manusia, kecuali kata-kata yang ditulis dengan tinta darah. Kata-kata seperti inilah yang akan selalu hidup dalam sanubari manusia.”
Oleh : Bayu Candra Winata (@bayucandrawin)
Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah IPB
Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah IPB
0 comments:
Alhamdulillah wa'syukurilah Bersyukur padamu ya Allah Kau jadikan kami saudara, Indah dalam kebersamaan