Home » » Pro dan Kontra PKS Jadi Partai Terbuka

Pro dan Kontra PKS Jadi Partai Terbuka

Written By Dedi E Kusmayadi Soerialaga on Sabtu, 22 Februari 2014 | 2/22/2014

Kemunculan PKS di pentas politik merupakan fenomena yang unik dan menarik. Partai yang menjadikan Islam sebagai ideologi perjuangan ini mampu memberi warna baru dalam pesta demokrasi di Indonesia. Betapa tidak, partai yang pada awal berdirinya kurang diperhitungkan banyak orang ini tiba-tiba mampu tampil sebagai partai besar dan memperoleh suara signifikan mengungguli partai-partai Islam lain yang lebih tua dan memiliki akar sejarah yang panjang. Namun ada sebagian masyarakat yang menaruh curiga terhadap PKS. PKS dianggap partai yang eksklusif serta menyimpan agenda tersembunyi (hidden agenda) untuk membentuk Negara Islam serta memperjuangkan formalisasi Syariat Islam di Indonesia. Untuk menghilangkan stigma negatif terhadap PKS, akhirnya pada Musyawarah Nasional (Munas) II PKS mewacanakan diri bertransformasi menjadi partai terbuka (inklusif). Perubahan sikap politik PKS ini tentunya menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat, serta mengundang tanda tanya besar.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) baru saja melaksanakan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di Bali dari tanggal 1-3 February, 2008. Mukernas dengan tema “Bangkit Negeriku! Harapan itu Masih Ada” merupakan salah satu kegiatan partai yang dianggap strategis untuk melebarkan jangkauan dakwah partai, apalagi menjelang Pemilu 2009.

Beberapa isu kontroversial yang bisa dipandang sebagai ijtihad politik muncul dalam penyelenggaraan mukernas kali ini. Isu dipilihnya Bali sebagai tempat mukernas, diusungnya ide menjadi partai terbuka dan isu Koalisi Merah Putih yang dilontarkan Hidayat Nurwahid, ketua MPR yang juga mantan presiden PKS, banyak mendapatkan sorotan berbagai kalangan terutama kader dan simpatisan partai itu sendiri.


Mengapa Bali?

Penunjukkan Bali sebagai tempat mukernas kali ini sempat menjadi perbincangan hangat pro dan kontra diantara para simpatisan PKS. Mereka yang kontra beralasan bahwa Bali kurang strategis dijadikan objek dakwah oleh partai berasas Islam ini, bukankah sudah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas penduduk Bali adalah non-Islam.

Melihat komposisi umat Islam Indonesia yang mayoritas dengan 87 persen, akan lebih strategis dan menguntungkan bagi PKS untuk menggarap objek dakwah yang mayoritas. Dengan kata lain menjadikan Bali sebagai sarana pengembangan dakwah partai dianggap tidak signifikan untuk meningkatkan jumlah simpatisan dan konstituen partai.

Bagi kalangan yang kontra ini, akan sangat strategis kalau mukernas dilaksanakan di daerah yang mayoritas Muslim tapi minim kader dan partisipan partai. Mereka juga beralasan bahwa jauhnya tempat pelaksanaan dari Jakarta akan mengeluarkan biaya tinggi bagi kader PKS untuk pergi ke Bali, apalagi pelaksanaan itu diselenggarakan di hotel Inna Grand Beach, Sanur yang bertarif paling murah 60 dolar Amerika permalam.

Bagi kelompok ini akan lebih bermanfaat kalau biaya itu digunakan untuk membantu para ‘dhuafa’. Sambil berseloroh, ada kader yang menunjuk daerah ‘Bantar Gebang’ Bekasi sebagai lebih bermanfaat jika dijadikan tempat mukernas daripada di Bali. Dakwah politik PKS akan lebih bermanfaat dan terasa signifikansinya jika mukernas dilaksanakan di daerah dengan mayoritas penduduknya Muslim dan banyak kaum dhuafanya.

Sengitnya kontroversi ini membuat kantor DPP PKS perlu untuk mengeluarkan ‘bayanat’ penjelasan resmi mengapa Bali dipilih sebagai tempat mukernas. Diawal penjelasannya, DPP PKS menyebutkan bahwa keputusan pemilihan tempat tersebut dibuat senafas dengan perkembangan pemikiran partai ke arah pemenangan pemilu 2009. Ini artinya strategi politik merupakan alasan utama mengapa Bali dipilih sebagai tempat mukernas kali ini.

Lebih jauh dijelaskan bahwa pemilihan Bali didasarkan pada kepentingan internal dan eksternal partai. Alasan internal antara lain untuk mengokohkan dakwah Islam dan posisi kader di daerah minoritas dan mengokohkan soliditas dan mobilitas PKS serta daya jangkau dakwah.

Sementara alasan eksternalnya adalah untuk menegaskan pengakuan PKS kepada pluralitas dan keanekaragaman agama, suku dan budaya bangsa serta penghargaan kepada minoritas dan komitmen PKS untuk memberikan keadilan bagi semua warga negara termasuk kalangan minoritas.

Nampaknya alasan eksternal merupakan alasan utama mengapa partai ini menyelenggarakan mukernasnya di Bali. Ini terbukti dengan didengungkannya secara signifikan bahwa PKS menuju partai yang terbuka bagi kalangan non-Muslim. Bukan rahasia lagi bahwa isu menjadikan PKS sebagai partai terbuka sudah lama menggelinding di kalangan internal partai. Apakah hilangnya gema takbir yang merupakan ciri khas PKS dan digantikannya dengan teriakan ‘merdeka’ disela-sela pembukaan acara mukernas juga merupakan salah satu strategi partai menuju partai terbuka?


Partai Terbuka dan Koalisi Merah Putih?

Strategi membangun citra PKS sebagai partai terbuka semakin jelas terlihat ketika Hidayat Nurwahid melontarkan wacana Koalisi Merah Putih.  Hal ini diungkapkan Hidayat ketika mengunjungi Puri Satria di Denpasar.

Ungkapan mantan Presiden PKS ini tentu saja banyak menghentak warga dan simpatisan PKS. Apakah Hidayat sekedar basa-basi politik disela-sela kulonuwun menjelang dilaksanakan mukernas atau memang PKS serius akan menjajagi koalisi religious-nasionalis antara PKS dan PDIP? Bukankah Bali memang dari dulu dianggap sebagai salah satu basis penting konstituent PDIP?

Pernyataan Hidayat dengan serta merta juga membuat para simpatisan PKS bertanya-tanya tentang layakkah PKS bersinergi dengan PDIP? Banyak diantara kader partai yang mempertanyakan bahwa haruskah PKS meninggalkan idealismenya sendiri sebagai partai Islam demi tujuan pragmatis meraih target suara dua puluh persen pada pemilu 2009?

Bagi kalangan yang tidak setuju dengan ide menjadi partai terbuka dan mengusung koalisi merah putih, mereka beralasan bahwa PKS telah melanggar ‘khittah’ partai yang sejak awal pendiriannya merupakah partai dakwah berasaskan Islam. Jika berubah menjadi partai terbuka, berarti PKS tidak lagi mempertahankan ciri khasnya dan sama dengan partai-partai Islam yang lain.

Mereka mempertanyakan tentang bagaimana PKS mempertahankan sitem tarbiyah dan halaqohnya melalui kegiatan liqo dan muqoyyam misalkan yang selama ini dijadikan basis pengkaderan dan rekrutment anggota partai? Kalau tarbiyah yang sarat dengan nilai-nilai keislaman merupakan proses kegiatan partai untuk melatih integritas dan loyalitas partai, bagaimana hal ini bisa dilakukan jika kader parti yang non-Muslim semakin banyak? Bukankah ini berarti partai telah melakukan blunder dalam strategi politiknya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu muncul dikalangan simpatisan partai yang pesimis jika PKS menjadi partai terbuka. Mereka bahkan merasa khawatir dengan dideklarasikannnya PKS menjadi partai terbuka justru akan ditinggalkan oleh kader mayoritasnya yang berlatar belakang tarbiyah.

Pesimisme ini dibantah oleh para elit partai yang berpikir sebaliknya. Mereka berkeyakinan bahwa melihat dinamika politik kontemporer di tanah air, adalah mutlak bagi PKS untuk membuka diri bersipat inklusif dan pluralis jika ingin menambah konstituen partai. Bisa jadi kegagalan PKS pada beberapa Pilkada seperti pada pemilihan gubernur Banten dan Jakarta dimana PKS dikeroyok ramai-ramai karena partai Islam juga menjadi salah satu pertimbangan mengapa PKS mau menjadi partai terbuka.

Menjawab kekhawatiran kader partai bahwa PKS akan kehilangan ciri khas partai Islam, presiden PKS Tifatul Sembiring mengatakan bahwa PKS tetap berasas Islam dan menjunjung tinggi pluralisme. Syariah Islam tetap menjadi pedoman pribadi bagi para kader PKS.

Artinya PKS berusaha mengakomodir dua kepentingan sekaligus yaitu menjunjung tinggi idealisme partai yang berasaskan Islam bagi kehidupan pribadi kadernya, sambil sekaligus mengusung keterbukaan atau pluralisme sebagai salah satu strategi politik komunitas partai demi pemenangan pemilu. Pertanyaannya, mungkinkah dua kepentingan itu akan bisa berjalan beriringan terutama dimata para kader tarbiyah yang dikenal militant?

Ijtihad politik ini pada akhirnya bagaikan pedang bermata dua. Disatu sisi bisa dianggap sebagai blunder politik yang akan menurunkan suara PKS pada pemilu tahun depan dan semakin memperkuat asumsi para pengamat yang menganggap target 20 persen sebagai target yang terlalu muluk seperti dikatakan pengamat politik Qodari dari Indonesia Barometer.

Atau sebaliknya ijtihad politik ini justru akan meningkatkan citra partai dan menghilangkan stigma negative PKS sebagai partai inklusif yang pada akhirnya akan memunculkan optimisme baru bahwa partai ini akan semakin besar sebagaimana analisa Greg Fealy seorang Indonesianis handal dari Australia. Fealy mengatakan bahwa berdasarkan pada kesiapan partai, segi militansi kader, disiplin partai, serta citra PKS lebih baik dari partai islam lain, maka target 20 persen adalah hal yang wajar.


Peneliti UI : PKS Belum Siap Jadi Partai Terbuka

Peneliti Center for Election of Political Party (CEPP) Universitas Indonesia, Imerinda Alamasari, menilai, Partai Keadilan Sejahtera sesungguhnya belum siap menjadi partai terbuka. Sifat kader PKS yang eksklusif dianggap tidak bisa menerima konsep partai terbuka yang ditawarkan para elite PKS.

"Mereka itu sebenarnya belum siap. Dia (Anis Matta) bilang partainya universal, tapi nyatanya melakukan dakwah yang terbatas, pengajian yang khusus seperti halaqoh, liqo. Apa iya mereka masuk ke pengajian ibu-ibu? Kan tidak. Jadi konsep terbuka hanya di tataran elite saja," ujar Imerinda seusai diskusi bersama dengan Presiden PKS Anis Matta di Kampus UI, Depok, Selasa (7/1/2014).

Imerinda mengatakan, PKS selama ini kuat karena kader internalnya merasa nyaman mempertahankan prinsip Islam yang eksklusif di partai itu. Dengan eksklusivitas itu, mesin partai PKS berhasil digerakkan secara militan oleh para kadernya.

Imerinda mengutip sebuah penelitian yang menunjukkan tingkat resistansi kader PKS terhadap konsep partai terbuka. "Coba saja dicek, berapa banyak kader PKS yang tersisa? Karena begitu non-Islam masuk, mereka merasa tidak lagi sejalan dengan PKS," lanjutnya.

Ia menambahkan, kepala daerah asal PKS justru menunjukkan eksklusivitasnya seperti yang dilakukan Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail. Ia memberi contoh, Nur Mahmudi memperkenankan perumahan khusus Muslim menjamur di kawasan Depok seperti Mawar Residence, perumahan Tugu, dan perumahan Orchid. Imerinda pun pernah mengalami pengalaman pahit tidak diterima di perumahan khusus Muslim itu.

Di sisi lain, katanya, izin pembangunan gereja di kawasan Cinere dipersulit karena tidak adanya izin dari kelurahan dan wali kota. "Jadi PKS jangan mentang-mentang. PKS kalau di politik di mana letaknya?  Anis Matta bilang hanya 1/3 dari 1/3 kan, kecil banget. Masyarakat kita masih lebih besar penganut Islam tradisional seperti PKB dan PPP," ucap Imerinda.

Oleh karena itu, dia menilai PKS seharusnya menggunakan parameter internal untuk membesarkan partai. "Kalau PKS dibuka sedikit saja, akan banyak yang keluar. Seharusnya soliditas internal itu yang dijaga," katanya.

0 comments:

Alhamdulillah wa'syukurilah Bersyukur padamu ya Allah Kau jadikan kami saudara, Indah dalam kebersamaan

UP DATE VIDEO PKS

TOTAL LAYANGAN BULAN INI

TRENDING

 
Copyright © PKS DPC Sumedang Utara - All Rights Reserved
    Facebook Twitter YouTube