Home » , » Polemik Kepala Daerah Yang Maju Capres

Polemik Kepala Daerah Yang Maju Capres

Written By Dedi E Kusmayadi Soerialaga on Jumat, 04 Juli 2014 | 7/04/2014

Polemik majunya Kepala Daerah menjadi Calon Presiden/Calon Wakil Presiden telah menjadi pembahasan hangat disemua kalangan, baik ditingkat elite maupun ditingkat masyarakat. Perdebatan lebih banyak melihat dari sisi Etika Politik maupun secara sosiologis. Namun bagaimanakah pandangan dari sisi Yuridis?

Jika kita melihat UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 6 mengatakan bahwa PEJABAT NEGARA yang dicalonkan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya. Sementara dalam Pasal 7 mengatakan bahwa Kepala Daerah yang dicalonkan Partai Politik tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya, namun meminta untuk di nonaktifkan sementara oleh Presiden (cuti), yang pengaturannya diatur pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2009.

Namun pada pasal 1 angka 4 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian mengatakan bahwa PEJABAT NEGARA adalah Pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan PEJABAT NEGARA yang ditentukan oleh Undang-Undang.

Kemudian dalam Pasal 11 kembali dipertegas tentang klasifikasi PEJABAT NEGARA terdiri atas :

a. Presiden dan Wakil Presiden;

b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan;

d. Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;

e. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;

f. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;

g. Menteri dan jabatan yang setingkat Menteri;

h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;

i. Gubernur dan Wakil Gubernur;

j. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan

k. Pejabat Negara laninya yang ditcnttikan oleh Undang- undang


Jadi bisa dikatakan bahwa ada norma yang saling berbenturan antara norma yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres dengan Pasal 1 angka 4 dan Pasal 11 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian karena telah memisahkan Kepala Daerah dari bagian PEJABAT NEGARA.

Namun semenjak munculnya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara sebagai pengganti dari UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang dalam pengaturannya, tidak lagi memasukan definisi PEJABAT NEGARA dalam Ketentuan Umumya dan juga menghapus klasifikasi PEJABAT NEGARA, sehingga memperkuat aturan dalam Pasal 7 yang memisahkan Kepala Daerah dengan Pejabat Negara, sehingga inlah yang menjadi dasar hukum para Kepala Daerah yang mencalonkan diri menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden tidak perlu mundur dari Jabatannya dan cukup meminta Ijin kepada Presiden untuk mendapatkan ijin Non aktif Sementara (Cuti) dengan dasar Keputusan Presiden (Keppres).

Jika dilihat dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan, terhadap UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini tidak Konsisten karena dalam konsideran menimbang huruf d, dikatakan bahwa UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional tantangan global sehingga perlu diganti.

Namun pada Ketentuan Penutup, pasal 139 mengatakan bahwa, pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No. 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No,or 3041) sebagaimana diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.

Jadi secara yuridis, sudah tidak ada lagi aturan yang mengatur bahwa Kepala Daerah harus mengundurkan diri dari jabatannya, hanya yang dapat dipersoalkan selanjutnya adalah apakah Keputusan Presiden (Keppres) yang dikeluarkan oleh Presiden dalam memberikan izin cuti kepada Kepala Daerah sudah sesuai dengan Asas-asas atau Kepatutan yang ada dengan mengujinya ke PTUN. Atau menguji Norma pasal 7 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden ke Mahkamah Konstitusi jika dianggap bertentangan dengan Konstitusi.

Namun pendapat tersebut dibantah oleh Plt Dirjen Perundang-undangan Kemenkumham Mualimin

Kepala Daerah “Nyapres” Seharusnya Mundur. Sesuai UU Aparatur Sipil Negara, pejabat negara termasuk jabatan kepala daerah.

Pemerintah menyatakan pejabat negara termasuk kepala daerah (gubernur/walikota/bupati) berhak mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan seyogyanya mengundurkan diri dari jabatannya.Hal ini demi menjunjung etika tata pemerintahan dalam negara demokrasi.
 
“Tetapi, sebaiknya (etikanya) pejabat negara yang masih aktif tidak mencalonkan diri sebagai presiden/wakil presiden hingga masa jabatannya berakhir,” kata Plt Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemekumham Mualimin Abdi saat memberi keterangan pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) di ruang sidang MK, Rabu (2/7).

Pemerintah menyadari dalam negara demokrasi terdapat hak untuk memilih dan dipilih, termasuk hak untuk dapat memilih dan dipilih sebagai calon presiden. Namun, pejabat negara yang mundur setelah mengakhiri masa jabatannya ini akan sangat menjaga wibawa pejabat negara di mata masyarakat dan menjaga stabilitas ketatanegaraan di segala aspek bidang kehidupan.
 
Mualimin mengingatkan kualifikasi pejabat negara meliputi seluruh unsure penyelenggara negara, termasuk di dalamnya kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota). Ini merujuk pada Pasal 122 huruf i UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). “Ini berlaku asas lex posteriori derogat legi priori, materi UU yang mengatur berbeda, berlaku UU yang terbaru,” tuturnya.
 
 
Persamaan kedudukan

DPR, dalam keterangannya, lebih menekankan pentingnya persamaan kedudukan setiap warga negara termasuk pejabat negara terkait pencalonan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden (capres).Sebab, pejabat negara memiliki peranan yang besar dalam jabatannya untuk bisa memberikan ketidakadilan saat dia menjadi seorang calon presiden.
 
Misalnya, ketika salah satu calon presiden melaksanakan agenda awal jalan sehat, tetapi berujung kekampanye politik lengkap dengan podium yang sudah disediakan.“Tak ada satu pun pejabat di bawah pemerintahan gubernur yang berani menegurnya, apalagi melarangnya,” ujar anggota Komisi III DPR, Martin Hutabarat di hadapan sidang pleno yang diketuai Hamdan Zoelva.
 
Kondisi seperti itu, kata dia, jelas menimbulkan ketidakadilan bagi para capres lain. Padahal, dalam hukum harus memberikan kesetaraan, keadilan, kesamaan hak bagi setiap warga negara termasuk pejabat negara untuk memberikan satu kedudukan yang sama dalam menjalankan perannya sebagai capres.
 
Bagi politisi dari Fraksi Partai Gerindra itu, seorang capres adalah orang terbaik dari seluruh rakyat Indonesia karena dia akan menjadi panutan dan membawa bangsa ini ke cita-cita Proklamasi."Kami berharap ada putusan yang menunjukkan kesetaraan bagi satu capres yang sesuai dengan tujuan negara dan konstitusi kita," harapnya.
 
 
Harus mundur

Seorang ahli yang sengaja dihadirkan pemohon, Irmanputra Sidin berpendapat kepala daerah mencalonkan diri sebagai calon presiden atau wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.“Kepala daerah, seperti gubernur, wali kota, bupati beserta wakilnya merupakan pejabat negara yang menjalankan fungsi dan memiliki kewenangan,” kata Irman.
 
Menurut dia, secara teoritis dan merujuk putusan MK, hingga saat ini belum ada yang menyangkal seorang kepala daerah bukan pejabat negara. Irman melanjutkan pejabat negara harus mundur ketika menjadi calon presiden karena jabatan tersebut merupakan paling utama dalam sebuah negara yang bertanggung jawab terhadap sekitar 250 juta warga negara Indonesia.
 
“Menjadi calon presiden bukan sekadar berbicara dimensi hak politik warga. Namun panggilan konstitusional, sehingga warga negara yang menjadi calon presiden harus fokus dan totalitas mengurusnya,” kata Irman.
 
Sebelumnya, warga DKI Jakarta Yonas Risakota dan Baiq Oktavianty mempersoalkan Pasal 6 ayat (1) berikut penjelasannya, dan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Pilpres lantaran Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mencalonkan diri sebagai calon presiden. Kedua pasal itu dinilai diskriminatif yang mengakibatkan kerugian konstitusional yang dialami para pemohon sebagai warga DKI.
 
Misalnya, Pasal 7 ayat (1) mensyaratkan gubernur yang mencalonkan sebagai presiden atau wakil presiden hanya harus meminta izin presiden, tidak harus mengundurkan diri. Namun, Pasal 6 ayat (1) UU Pilpres mensyaratkan pejabat negara (menteri, pimpinan lembaga negara) yang dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.
 
Karena itu, para pemohon meminta MK menyatakan inkonstitusional bersyarat Pasal 6 ayat (1) sepanjang pejabat negara tidak dimaknai ‘termasuk gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, atau walikota atau wakil walikota’ dan membatalkan Pasal 7 UU Pilpres.
 
Pencalonan Jokowi dinilai mengkhianati pemohon yang telah memberi kepercayaan memimpin DKI Jakarta. Kalau pemegang jabatan politik (kepala daerah) tidak mundur ketika mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sama saja dengan memperjudikan jabatan dan tidak mau ambil resiko. Hal ini menimbulkan ketidakpastian masa jabatan kepala daerah yang dipilih untuk lima tahun.

0 comments:

Alhamdulillah wa'syukurilah Bersyukur padamu ya Allah Kau jadikan kami saudara, Indah dalam kebersamaan

UP DATE VIDEO PKS

TOTAL LAYANGAN BULAN INI

TRENDING

 
Copyright © PKS DPC Sumedang Utara - All Rights Reserved
    Facebook Twitter YouTube