Home » » Perempuan dan Korupsi

Perempuan dan Korupsi

Written By Dedi E Kusmayadi Soerialaga on Selasa, 18 Februari 2014 | 2/18/2014

Benarkah perempuan akan lebih bersih dari korupsi daripada kaum laki-laki? Wacana global beberapa tahun belakangan ini banyak membicarakan mengenai peran perempuan dalam pemberantasan korupsi. Pandangan ini kemudian berhasil diterapkan di beberapa negara seperti Brasil. Awal Januari 2011, Dilma Rousseff dilantik sebagai perempuan pertama yang menjadi Presiden Brasil. Pada pertengahan Februari 2011, Brasil mengangkat Martha Rocha sebagai kepala polisi perempuan pertama. Martha Rocha dipilih karena memiliki latar belakang yang bersih dari korupsi, untuk menggantikan kepala polisi sebelumnya yang dicopot karena korup dan bersekongkol dengan gembong obat bius. Tidak hanya itu, akhir Juni 2011, Christine Lagarde menjadi perempuan pertama menjabat Direktur IMF, dan seminggu kemudian Yingluck Shinawatra terpilih sebagai perempuan pertama Perdana Menteri Thailand.[1]

Hasil penelitian Bank Dunia pada tahun 1999, Are Women Really “Fairer” Sex? Corruption and Woman in Government menunjukkan bahwa perempuan memiliki hasrat lebih rendah untuk menerima suap atau melakukan tindak pidana korupsi. Penelitian tersebut merekomendasi, jika jumlah anggota parlemen perempuan cukup banyak di suatu negara, hal itu berpotensi kuat menurunkan tingkat korupsi.[2]

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah peran perempuan memberantas korupsi di negeri ini jauh lebih efektif? Tulisan ini akan memaparkan sudut pandang mengenai dua pertanyaan tadi lewat perspektif gender.

Korupsi dan Gender: Sebuah Tinjauan Konsep    
      
Korupsi sebagai suatu konsep, sebagaimana konsep-konsep sosial lainnya, mengalami perkembangan makna dan arti sesuai dengan perkembangan sosial-politik, hukum, dan ekonomi-budaya dalam masyarakat. Definisi korupsi yang digunakan dalam tulisan ini adalah definisi dari Transparency International yakni, “penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan orang lain, untuk kepentingan pribadi”, atau “penggunaan yang salah dari kekuasaan yang dipercayakan untuk kepentingan pribadi.” Artinya, ada tindakan-tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindakan korupsi meski tidak melibatkan pejabat publik.
                
Ketika membicarakan korupsi dan gender, atau lebih persisnya tindakan korupsi dan relasi gender, memang menimbulkan perdebatan yang menarik dan tidak ada habis-habisnya. Tidak sedikit kajian yang dibuat dengan merujuk pada studi kasus berbagai negara. Kajian lainnya dimulai melalui kajian perilaku sampai representasi perempuan dalam politik. Sejauh ini, penulis bermaksud memaparkan dua kajian yang paling menonjol dan bertentangan satu dengan lainnya.
              
Kajian pertama , seperti yang sudah ditulis di bagian pendahuluan, kajian yang ditulis oleh David Dollar, Raymond Fisman dan Roberto Gatti dengan unit kajian studi perilaku. Kesimpulan dari laporan tersebut adalah, dibandingkan laki-laki ternyata perempuan lebih bisa dipercaya dan juga lebih berjiwa kerakyatan. Kajian pertama tadi ditegaskan oleh laporan lain Bank Dunia, Gender and Corruption tahun 2000 yang ditulis oleh Anand Swamy, Stephen Knack, Young Lee and Omar Afzar.[3] Mereka menyimpulkan bahwa representasi perempuan di ranah parlemen, pemerintahan dan birokrasi, serta dunia kerja yang lebih besar ternyata berkorelasi positif dengan berkurangnya korupsi di ranah-ranah tersebut. Perempuan, berdasarkan kajian lapangan dan studi-studi mikro, lebih sedikit terlibat di dalam kasus suap, dan lebih sedikit juga yang dapat memberikan pembenaran/justifikasi berkaitan dengan tindakan suap tersebut dibandingkan laki-laki.

Perempuan dan Korupsi: Konteks Indonesia
               
Setelah memaparkan kajian pertama yang menyimpulkan bahwa perempuan cenderung tidak lebih korup dibandingkan laki-laki, kajian kedua tidak kalah menarik. Kajian kedua mencoba melihat lebih kritis. Anne Marie Goetz dari UN Development Fund for Women (UNIFEM) mengkaji India, Bangladesh, Uganda dan Afrika Selatan. Dari hasil kajiannya, Anna meragukan anggapan yang menyatakan bahwa perempuan memiliki kecenderungan antikorupsi dibandingkan dengan laki-laki. Menurutnya, anggapan seperti itu merupakan mitos yang diciptakan. Dalam tulisannya, Political Cleaners: How Women are the New Anti-Corruption Forces. Does the Evidence Wash? , ia menganggap mitos tersebut tidak hanya kita sedang berangan-angan (wishful thinking), tapi yang lebih parah kita kelihatannya “sudah hampir kehabisan akal” (almost desperate thinking) dalam upaya memerangi korupsi.[4]
               
Hasil kajian Anna, bisa jadi relevan dengan apa yang terjadi di Indonesia. Hari-hari ini, kita bisa melihat bahwa jumlah koruptor di Indonesia, yang adalah perempuan, cenderung meningkat. Pada tahun 2008 dari 22 koruptor, dua di antaranya adalah perempuan. Tahun 2011, tujuh perempuan meningkat, dan sampai dengan 2013 jumlah koruptor perempuan yang ditangkap dan diproses dalam pengadilan tidak kurang dari 20 orang. Apa yang sebetulnya terjadi? Mengapa jumlah ini cenderung meningkat?
               
Pertama, jumlah perempuan yang duduk di kursi jabatan publik tidak lebih banyak dibandingkan laki-laki. Akses perempuan dalam jabatan publik ini juga menjadi sorotan kelompok Feminis. Sistem patriarki, ketidakadilan dan diskriminasi menjadi faktor utama mengapa perempuan tidak banyak menduduki jabatan-jabatan strategis jabatan publik. Kesempatan perempuan dalam jabatan publik kemudian perlu juga dibarengi dengan upaya penanaman nilai-nilai integritas dan antikorupsi. Artinya, upaya ini tidak hanya diberikan kepada perempuan, tetapi juga laki-laki. Maka, perempuan semestinya memiliki potensi yang sama dalam jabatan publik/pemerintahan, tetapi di waktu bersamaan perempuan juga memiliki potensi melakukan tindak korupsi.
               
Kedua, ketika perempuan menduduki jabatan publik, ada dorongan/hasrat menghidupi keluarga dan kesempatan untuk memperoleh keuntungan. Mengacu pada pernyataan Lord Acton, “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Dalam situasi dan kesempatan kuasa yang besar, tidak menutupi kemungkinan perempuan melupakan gagasan-gagasan ideal mereka mengenai moral yang dianggap lebih antikorupsi dibandingkan laki-laki.
               
Ketiga, merujuk pada konsep korupsi yang diajukan Transparency International bahwa perilaku korupsi bukan hanya melibatkan pejabat publik, maka perlu dilihat lebih cermat perempuan yang bukan ada di jabatan publik juga berpotensi melakukan perilaku koruptif.

              
Perspektif Gender dalam Problematika Korupsi: Bukan Sekedar Normatif

Integrasi gender dalam melihat problematika korupsi adalah upaya pembauran isu gender ke dalam isu korupsi. Ketika anggapan gerakan antikorupsi cenderung lebih maskulin, perspektif gender semestinya ada untuk menyeimbangkan. Integrasi perspektif gender ini merupakan upaya kelompok Feminis atas ketidakadilan di setiap aspek kehidupan, termasuk upaya pemberantasan korupsi. Dari “ketidakadilan, diskriminasi dan sistem patriarki” inilah semestinya wacana ini berkembang.

Kita perlu melihat bahwa represi terhadap perempuan merupakan salah satu faktor mengapa perempuan melakukan tindak koruptif. Zero tolerance atas tindak koruptif memang penting dilakukan, tetapi tidak hitam-putih jika dihadapkan pada represi yang dialami perempuan. Satu contoh: seorang pekerja migran dipaksa membayar sejumlah uang oleh calo untuk meloloskan ia bekerja ke luar negeri. Apakah pekerja migran tersebut salah sepenuhnya dan melakukan tindakan koruptif? Untuk menegaskan contoh dan konteks, pekerja migran ini adalah orang tua tunggal dari lima anak di Indramayu. Kebutuhan keluarga, pendidikan dan masa depan anak menjadi pertimbangan ia harus mencari penghidupan yang lebih baik. Bekerja ke luar negeri dengan janji dan jaminan penghasilan  tinggi menjadi tujuan perempuan ini.

Pertanyaan reflektif dan kritis yang perlu kita ajukan adalah: apakah seorang perempuan pekerja migran yang membayar calo bisa disamakan dengan Angelina Sondakh yang melakukan tindak korupsi saat dirinya justru adalah wakil rakyat? Wakil rakyat yang tentunya berkelimpahan harta dan kemewahan. Sekaligus wakil rakyat yang semestinya menjadi panutan. Kasat mata kita bisa asumsikan bahwa kehidupan Angelina Sondakh jauh lebih nyaman dan berkecukupan dibandingkan pekerja migran tadi. Keduanya perempuan dan seorang ibu.

Perspektif gender dalam problematika korupsi di Indonesia perlu kita cermati untuk beberapa hal:

Pertama, faktor pendorong seseorang melakukan tindak korupsi adalah: by need, by system and by greed. Ada faktor kebutuhan, ada sistem korup dan keserakahan individu. Dari contoh di atas kita bisa melihat bahwa faktor pendorong mengapa pekerja migran membayar calo adalah karena kebutuhan juga karena sistem yang buruk yang melingkupinya. Sedangkan pada kasus Angelina Sondakh, jelas keserakahan menjadi faktor pemicu. Keserakahannya dijustifikasi oleh gaya hidup, kebutuhan yang berlebih-lebihan, faktor lingkungan peer group, dsb.

Kedua, perspektif gender mencoba menegaskan bahwa perempuan adalah korban dampak korupsi karena pada dasarnya dampak yang dialami oleh perempuan dan laki-laki itu berbeda. Semakin korupsi berkembang dan bertahan, maka ini semakin memperkuat dan melanggengkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender.  Kenyataan yang terjadi di Indonesia, di tengah sistem patriarki yang sangat “gila” ini, perempuan sangat sedikit memiliki akses kepada kekuasaan ekonomi dan politik, dan akibatnya perempuan tersingkirkan (excluded) dari jaringan yang memungkinkan mereka memiliki akses kepada institusi-institusi atau badan-badan pengambil keputusan atau kebijakan. Pada saat institusi ini dikuasai dan dimonopoli oleh laki-laki, maka pada saat bersamaan memperlihatkan bagaimana perempuan tidak memiliki kekuasaan –seperti laki-laki, untuk memerangi korupsi. Pertanyaan kritis: ada berapa komisioner KPK yang adalah perempuan, misalnya?

Ketiga, meneruskan tinjauan kritis di atas, bahwa perspektif gender perlu ada dalam gerakan antikorupsi itu sendiri. Penulis dalam tiga tahun terakhir ini terlibat dalam gerakan antikorupsi, dan memang kenyataannya belum banyak perempuan dalam gerakan ini. Bahkan, sekalipun perempuan ada, tidak kesemuanya memiliki perspektif gender. Tidak hanya institusi publik yang didominasi oleh laki-laki, upaya pemberantasan korupsi pun belum menyerta perspekif gender dan keterlibatan perempuan secara aktif.


Bagaimana Media Memberitakan Kasus Perempuan dalam Korupsi?
               
Jika kita mencari sumber informasi di mesin pencarian seperti Google, cobalah ketik: “Perempuan Koruptor di Indonesia”, maka sebagian besar berita tidak berimbang dibandingkan dengan “Laki-laki Koruptor di Indonesia”. Ketidakberimbangan ini bukan soal jumlah yang dikorupsi atau kerugian negara yang dialami, tetapi bagaimana media hampir selalu mendahulukan gossip ketimbang fakta. Media lebih menyoroti apa yang dikenakan perempuan perilaku korupsi tersebut, daripada fakta kasus dan hukum. Kita mungkin lebih akrab dengan tas merk terkenal Nunun Nurbaeti, kehidupan sosialita Angelina Sondakh dan “kecantikannya”, rambut ungu Miranda Goeltom dan tubuh Malinda Dee. Padahal, kasus korupsi dan kerugian yang mereka akibatkan jauh lebih penting dibahas daripada yang melekat di tubuh mereka.
               
Diskriminasi ini juga masih dialami perempuan. Sistem patriarki yang “gila” negeri ini bahkan mengaburkan fakta dan lebih mementingkan kebertubuhan yang semestinya bukan urusan publik.
------------------------------------------
[1] Neta S. Pane, “Perempuan dan Korupsi”, Kompas, Jumat 29 Juli 2011.
[2] David Dollar,  Raymod Fisman and Roberta Gatti. Are Women Really the ‘Fairer’ Sex? Corruption and Women in Government. The World Bank, 1999. Policy Research Report on Gender and Development Working Paper Series No.4.
[3] Anand Swamy, Stephen Knack, Young Lee and Omar Afzar, Gender and Corruption, August, 2000.
[4] Anne Marie Goetz. Political Cleaners: Women as The New Anti Corruption Force?. USA: Blackwell Publishing, 2007. Development and Change.

0 comments:

Alhamdulillah wa'syukurilah Bersyukur padamu ya Allah Kau jadikan kami saudara, Indah dalam kebersamaan

UP DATE VIDEO PKS

TOTAL LAYANGAN BULAN INI

TRENDING

 
Copyright © PKS DPC Sumedang Utara - All Rights Reserved
    Facebook Twitter YouTube