Ir. M. Hatta Rajasa, seorang pengusaha dan CEO sukses yang kini berkonsentrasi jadi politisi. Semua perusahaannya dijual setelah masuk partai. Pria relijius penganut pluralisme dalam politik ini berobsesi menjadi politisi negarawan yang mendahulukan kepentingan bangsa. Terlatih bekerja keras, jujur, mandiri dan bekerja sama sejak kecil. Ketua Umum Partai Amanat Nasional ini, dipercaya dan menunjukkan integritas dan kapasitasnya ketika menjabat Menristek pada Kabinet Gotong-Royong, Menteri Perhubungan pada Kabinet Indonesia Bersatu, Menteri Sekretariat Negara Kabinet Indonesia Bersatu I serta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu II.
Banyak orang tak menduga dia menjadi Menteri Perhubungan Kabinet Indonesia Bersatu. Sama seperti saat dia dipercaya menjabat Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Kabinet Gotong-Royong. Maklum, lulusan perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, diprediksi banyak orang lebih pas menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun, dengan kemampuan manajerial yang dimilikinya, jabatan apa pun dapat diemban dengan baik. Terbukti, semasa menjabat Menristek, ia berhasil mengangkat nama bangsa, manakala terpilih menjadi Presiden Ke-46 Konfrensi IAEA (The International Atomic Energy Agency) dengan pemilihan (voting).
Sebagai politisi yang berkali-kali mengemban amanah sebagai menteri di berbagai kabinet, pria berambut perak kelahiran Palembang, 18 Desember 1953 ini, berupaya menjalankan peran secara optimal jabatan yang diamanahkannya, baik sebagai Fungsionaris Partai Amanat Nasional (PAN), Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Republik Indonesia Kabinet Gotong-Royong, Menteri Perhubungan Kabinet Indonesia Bersatu I dan Menteri Sekretariat Negara Kabinet Indonesia Bersatu I serta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu II tanpa terjadinya kemungkinan loyalitas ganda dan abuse of power, “My loyality to the party end when loyality to the state began”.
Kekuasaan hanyalah sebuah sarana, bukan tujuan utama, ‘Power is a means, but not our ultimate goal.’ Tujuan utama kita adalah mewujudkan Indonesia baru yang demokratis, berkeadilan, terbuka, dalam masyarakat majemuk yang saling menghormati. Pernyataan ini sekaligus bermakna penegasan posisinya sebagai politisi negarawan yang ingin terus mengabdikan diri kepada bangsa.
Sebagai politisi yang berkali-kali mengemban amanah sebagai menteri di berbagai kabinet, pria berambut perak kelahiran Palembang, 18 Desember 1953 ini, berupaya menjalankan peran secara optimal jabatan yang diamanahkannya, baik sebagai Fungsionaris Partai Amanat Nasional (PAN), Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Republik Indonesia Kabinet Gotong-Royong, Menteri Perhubungan Kabinet Indonesia Bersatu I dan Menteri Sekretariat Negara Kabinet Indonesia Bersatu I serta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu II tanpa terjadinya kemungkinan loyalitas ganda dan abuse of power, “My loyality to the party end when loyality to the state began”.
Kekuasaan hanyalah sebuah sarana, bukan tujuan utama, ‘Power is a means, but not our ultimate goal.’ Tujuan utama kita adalah mewujudkan Indonesia baru yang demokratis, berkeadilan, terbuka, dalam masyarakat majemuk yang saling menghormati. Pernyataan ini sekaligus bermakna penegasan posisinya sebagai politisi negarawan yang ingin terus mengabdikan diri kepada bangsa.
Jika diamati, ia tidak pernah bicara politik atau partai ketika berperan sebagai menteri. Ia selalu menempatkan posisinya pada konteks dan waktu yang tepat. Saat ia bekerja sebagai menteri, ia bicara mengenai bidang tugasnya sebagai menteri. Dan jika ia ke daerah, terutama Sabtu-Minggu – waktu yang benar-benar disediakannya untuk partai – ia bicara sebagai fungsionaris partai.
Jujur dan Mandiri
Anak kedua dari 12 bersaudara ini telah terlatih untuk bekerja keras, jujur, mandiri dan bekerjasama sejak kecil. Ia berasal dari keluarga pamong. Ayahnya seorang pamong bernama H. Muhammad Tohir, ibunya bernama Hj. Aisyah binti Alaydrus. Kakeknya juga pamong di Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan bernama Ahmad Pangeran Raksawiguna. Ayahnya, ketika masih lajang adalah seorang tentara yang berjuang di tanah Jawa. Namun, sesudah menikah berhenti dari tentara, beralih jadi pegawai negeri sipil, dan berkali-kali mengemban tugas sebagai camat di berbagai wilayah di Sumatera Selatan.
Sebagai anak yang berasal dari keluarga sederhana — ayahnya pegawai negeri yang bekerja keras dan jujur. Hatta telah terbiasa hidup apa adanya, jujur dan berdisiplin. Orang tuanya memang mendidiknya dengan disiplin yang tinggi.
Setelah ia tamat SD, ayahnya menjadi Asisten Wedana (Camat) di daerah Muarakuang. Di kecamatan itu belum ada SMP. Sehingga Hatta kecil dititipkan kepada pamannya di Palembang. Jarak antara Palembang dengan kecamatan itu, kira-kira seratus kilometer. Tapi jika berangkat siang hari dari Palembang menggunakan motor, baru akan sampai larut malam, karena jalan jelek sekali.
Di situ ia mulai mengenal arti sebuah kehidupan. Di situ juga perkembangan kemampuan emosionalnya banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Yakni setiap orang itu haruslah saling menolong, saling memberi dan mau berkorban bagi orang lain. Di situ ia sudah menyadari bahwa kesuksesan seseorang bukan semata-mata karena kemampuan dirinya sendiri, tapi 60% adalah karena kerjasama orang lain, jasa orang lain, terutama ibu-bapaknya, keluarga, teman dan kerabat. Juga berkat doa orang tua.
Pandangan ini, yakni semangat toleransi dan menghargai orang lain, sangat dijiwainya sejak kecil. Sampai saat ini, pandangan ini tetap mempengaruhi hidupnya. Karena, sejak tamat SD, ia sudah harus hidup dengan keluarga orang lain. Itu berarti ia harus belajar tahu diri sebagai orang yang dititipkan. Harus bekerja. Pagi-pagi ia harus bangun untuk melakukan tugas-tugas di rumah pamannya, antara lain mengisi bak mandi dengan pompa. Setengah enam ia sudah mengayuh sepeda ke sekolah.
Ia melakukan itu sampai tamat SMA di Palembang. Dari sejak tamat SD, ia sudah berpisah dengan orang tua, hanya bertemu sekali-sekali. Sampai ia menyelesaikan kuliah di ITB. Pada masa ini, sekolah dan berpisah dengan orang tua, dirasakannya sebagai periode pendewasaan intelektual. Aspek relijius, emosional dan rasionalnya dibentuk dalam dua periode itu, yakni ketika SMP-SMA di Sumatera Selatan dan ketika kuliah di ITB.
Ketika di ITB, ia aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, sebagai Waka Himpunan Mahasiswa Tehnik Perminyakan ITB dan Senator Mahasiswa ITB. Selain itu, semasa kuliah, ia juga sempat menjadi aktivis Masjid Salman Bandung.
Menurutnya, ada perbedaan yang mencolok antara masa lalu, ketika ia sebagai aktivis, dengan zaman sekarang. Di masa lalu menjadi aktivis itu, menjadi musuh pemerintah. Oleh sebab itu, aktivis-aktivis yang lalu itu, untuk menjadi aktivis dia harus memiliki keberanian, karena risikonya tinggi. Sehingga karena challengeyang demikian besar ketika menjadi aktivis pada masa lalu itu, ia memetik hikmah yang sangat indah dan itu membentuk kepribadiannya bahwa setiap orang tidak boleh takut mengatakan sebuah kebenaran.
“Kalau dibandingkan dengan masa sekarang ini, kita mau teriak apapun, kita mau jungkir balik, mau mengata-ngatain orang tidak ada satupun yang mau menangkap. It’s a completely different challenge. Challenge-nya sangat berbeda,” katanya.
Setamat dari ITB jurusan perminyakan, sebenarnya ia ingin menjadi dosen, tapi tidak kesampaian. Mungkin karena ketika mahasiswa, ia seorang aktivis dan suka memberontak terhadap pemerintah saat itu.
Ketika itu, sebenarnya ia diterima bekerja di beberapa tempat dengan gaji yang lebih besar. Tapi ia tolak. Ia lebih ingin mandiri dengan membuat perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan sesuai pendidikannya.
Lalu ia bersama teman-temannya merintis usaha itu sampai memiliki beberapa badan usaha yang berkerjasama dengan perusahaan asing dan Petamina. Sejak tahun 1982 sampai 2000 ia menjabat Presiden Direktur Arthindo. Sebelumnya, ia menjabat Wakil Manager teknis PT. Meta Epsi, perusahaan pengeboran minyak. Tapi, begitu ia memutuskan bergabung dengan partai politik, semua kegiatan usaha itu dihentikan, semua dijual. Ia masuk Partai Amanat Nasional (PAN). Setelah masuk partai, benar-benar ia berhenti total dari usaha, tidak lagi memiliki usaha dan tak mau berbisnis.
Ia benar-benar konsentrasi di satu bidang. “Karena itu sifat saya. Kalau saya berusaha (bisnis), saya tidak mau bercampur dengan kegiatan lain. Begitu juga ketika masuk partai politik, saya konsentrasi dan juga tidak mau mencampur-baurkannya dengan usaha yang lain,” kata Ketua Umum DPP PAN ini.
Politisi Pluralis Relijius
Sebelum masuk PAN, ia tidak pernah berpolitik praktis. Karena tidak ada kesempatan sesuai iklim politik pada zaman orba. Padahal ketika mahasiswa, ia menyenangi bidang tersebut. Sehingga ketika Amien Rais menggerakkan reformasi, ia pun sudah mulai ikut aktif. Saat itu, ia menjadi ketua I Alumni ITB cabang Jakarta. Di situ ia sudah mulai aktif ikut gerakan reformasi, sampai ketika PAN dideklerasikan 23 Agustus 1998, ia pun ikut bergabung.
Di PAN, pada mulanya ia menjabat Ketua Departemen Sumber Daya Alam dan Enerji. Kemudian, setelah kongres I, ia terpilih menjadi Sekjen. Pada Pemilu 1999, ia pun terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari PAN, dari wilayah pemilihan Bandung. Di lembaga legislatif itu, ia terpilih menjadi ketua Fraksi Reformasi DPR RI.
Ketika di Senayan itu, ia benar-benar konsentrasi. Itu memang sudah sifatnya. Kiprahnya ketika permulaan masa reformasi tergolong sangat luar biasa. Pada masa transisi dari pemerintahan Habibie ke Gus Dur dan kemudian ke Megawati, ia sebagai ketua Fraksi Reformasi, mampu menerjemahkan dan mengejawantahkan garis partainya yang didisain demikian apik oleh Ketua Umumnya Amien Rais.
Sehingga Hatta bisa berperan banyak dalam kancah perpolitikan nasional, sebagai support atas peran Amien Rais yang berperan sangat besar sebagai‘king maker’ pentas politik nasional. Tak heran bila pada saat itu, wartawan DPR/MPR memilih Hatta sebagai salah satu dari 10 tokoh DPR terbaik.
Pada Pemilu 1999, ia adalah ketua Pemilu PAN. Ketika kongres PAN di Yogyakarta, ia sibuk menjadi ketua panitia pelaksana. Pada waktu itu, di PAN ada dua kubu yang saling bertarikan. Ia mengambil posisi berada di tengah saja. Ia termasuk orang yang menginginkan keutuhan dan kekokohan partai PAN.
Pria relijius ini ingin PAN tetap berada di tengah, tidak terseret ke kanan atau ke kiri sesuai dengan platformnya, partai plural, lintas agama, dan lintas budaya. Maka, tak heran jika pada waktu itu, saat pemilihan formatur, ia mendapat suara terbanyak. Formatur dalam kongres itu, memilih Amien Rais tetap sebagai ketua umum dan ia menjadi Sekjen.
Dalam partai, ia juga melihat prinsip “The right man on the right place” mutlak juga diperhatikan. Sehingga kadang-kadang orang memandangnya seperti berseberangan dengan kelompok yang lain. Sementara, ia sendiri menganggapnya biasa-biasa saja. Sebab ia bekerja sesuai dengan asas partai yaitu sebagai partai plural yang berbasis utama Islam. Sebuah partai yang dia yakini mampu mengakomodir dan menyuarakan aspirasi bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, namun plural, bhinneka tunggal ika, dari Sabang sampai Merauke.
Piawai Dalam Komunikasi Politik
Pada permulaan reformasi, sebagai masa transisi, anggota-anggota dewan terpilih dengan sistem Pemilu yang baru. Mereka lebih independen dan tidak dapat di-recall oleh partainya sendiri. Pada kondisi itu, saat menjadi anggota DPR, ia merasa teruji untuk mengartikulasikan hak individunya sebagai wakil rakyat tidak tergantung dengan fraksi dan partainya semata.
Ia mampu menempatkan diri dan menjaga keseimbangan, secara individu sebagai wakil konstituen sekaligus sebagai anggota fraksi. Ia sangat memahami bahwa fraksi adalah perpanjangan tangan dari partai politik, maka harus melakukan komunikasi yang intens untuk membawa suara partainya. Akan tetapi, pada saat bersamaan, ia juga tidak kehilangan jati diri sebagai seorang anggota dewan, yang harus bertanggungjawab secara individu kepada konstituen yang memilihnya.
Di masa transisi itu, bahkan sampai saat ini, ia sangat yakin, bahwa tidak mungkin sebuah partai dapat menyelesaikan persoalan bangsa ini sendirian. Oleh karena itu semuanya harus diselesaikan dengan loby dan musyawarah lintas fraksi. Sebagai anggota dewan dan Ketua Fraksi Reformasi ketika itu, ia banyak berdiskusi dan menyerap prinsip dan langkah politik Amien Rais selaku Ketua Umum PAN. Maka ia pun aktif menggalang komunikasi politik lintas partai.
Namun semua yang terjadi dalam dunia politik tidak pernah dilibatkan dalam kehidupan pribadi atau menjadi sebuah sentimen pribadi. Ia pun bukan tipe politisi yang suka berteriak dengan pendapat-pendapat yang kedengarannya menghentakkan, tapi tanpa solusi.
Baginya dalam berpolitik ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yakni (1) sikap konsisten yang disertai (2) tingkat moralitas yang tinggi dan menjaga etika. Boleh berbeda pendapat tapi jangan menghujat. Ia memang termasuk tipe orang yang tidak suka menghujat. Jika ada perbedaan pendapat, ia dengan santun dan terbuka menyampaikan bahwa ia mempunyai pendapat yang berbeda. Tapi jika pendapat orang lain memang lebih benar, ia pun akan mengikuti pendapat itu. Sebaliknya, jika pendapatnya yang benar, yang lain juga seharusnya mengakui. Tanpa perlu saling menghujat.
Jadi, menurutnya, persoalan politik dapat diselesaikan dengan baik-baik tanpa harus menyakiti perasaan orang. Tetapi jika dalam berpolitik sudah ada bibit-bibit suka dan tidak suka, maka persoalan apapun tidak dapat diselesaikan. Ia berpandangan persoalan dapat diselesaikan dengan nyaman, aman dan elegan, jika ada sikap saling menghargai.
Dukungan Keluarga
Perjalanan karirnya pastilah juga dipengaruhi oleh dukungan keluarga, terutama isteri dan anak-anaknya. Terutama saat ia memilih menjadi politisi, dimana seorang pengusaha dan CEO meninggalkan bisnis dan fokus sebagai politisi, sebuah keputusan yang tidak mudah bagi seorang yang sudah mempunyai keluarga dengan kehidupan yang mapan.
Ketika itu, tahun 1999, anak-anaknya masih kecil. Putra terbesarnya saat itu baru tamat SMP mau ke SMA. Ketika mengambil keputusan itu, ia memang berdialog panjang dengan keluarga, dengan istri terutama. Suatu hal yang tidak mudah baginya karena memilih memasuki dunia yang lain sama sekali. Ia mengaku tidak gampang meyakinkan keluarganya. Ia menegaskan, sekali ia berpolitik maka ia tidak akan menyentuh bisnis, harus dilepaskan semua. Ia pun harus berpikir mempersiapkan dari hasil-hasil usahanya itu buat keluarga dan buat berpolitik.
Suatu keputusan tentang kehidupan yang betul-betul berbeda. Dari sebuah kehidupan yang rada teratur, saat magrib bisa sembahyang bareng dengan anak-anaknya, menjadi sebuah kehidupan yang bisa disebut tidak teratur sama sekali. “Mereka sempat shock. Kan waktunya sangat pendek. Tahun 1998 PAN didirikan, tahun 1999 saya sudah menjadi anggota DPR, tahun 1999 saya di Senayan dan nyaris tidak pulang-pulang. Saya tidur di hotel dan jarang sekali ketemu dengan anak-anak, selama berapa bulan itu. Mereka bertanya-tanya, ‘kenapa kehidupan ini menjadi begini’. Dia tidak pernah ketemu bapaknya tapi lihat bapaknya di TV terus,” kenangnya.
Lalu ia pun menceritakan pelan-pelan kepada anak-anaknya bahwa inilah kehidupan. Ia jelaskan bahwa “dimanapun kita berada, papa sebagai pengusaha, papa sebagai pengajar, papa sekarang mau jadi politisi, semua itu adalah bagian dari ibadah.” Keluarganya pun memahami dan menerima.
Sementara gaya hidup keluarganya tampak biasa-biasa saja saat ia kemudian diangkat menjadi menteri. Istrinya tetap nyetir sendiri, dan sangat marah kalau ke daerah harus dikawal, harus ada ajudan.
“I never change my style of life. Saya tidak suka, misalnya tiba-tiba menjadi harus sangat formal, never change soal-soal seperti itu,” ujarnya. Anak-anaknya juga begitu, mereka biasa saja, dan mereka protes serta tidak mau tinggal di rumah menteri, dan memilih tetap tinggal di rumah pribadinya.
Jadi tidak ada sesuatu yang berubah. Hanya kadang-kadang, seperti anaknya yang paling kecil bertanya: ‘Pak, orang bilang pejabat negara itu sama dengan korupsi?’ Menjawab pertanyaan anak kecil yang kritis ini, ia mengaku tidak gampang menjelaskan sampai si kecil memahaminya.
Keluarganya memang harus memahami tugas panggilannya. Sebab bagi dia, hari Sabtu hari Minggu hari keluarga, tidak ada. Baginya semua hari-hari keluarga, semua hari-hari kerja, semua hari ya hari. Semua hari untuk bekerja, untuk beribadah. Sehingga frekuensi untuk ketemu anak-anak jauh berkurang.
Namun, pada Sabtu-Minggu kalau berada di Jakarta ia berupaya melepas kebebasan diri. Ia nyetir sendiri. Sabtu-Minggu supir pulang. Tidak ada ajudan. Ia malah menjadi happy.
Internalisasi Demokrasi
Menurutnya, di Indonesia banyak persoalan besar yang sebenarnya sudah dapat diselesaikan tanpa mengakibatkan konflik. Satu di antaranya proses demokratisasi yang luar biasa. Kebebasan berbicara, berserikat dan mendirikan partai sudah terselesaikan. Sementara di banyak negara lain persoalan ini belum selesai.
Namun, menurutnya, hal ini harus dibarengi dengan pemahaman-pemahaman oleh partai politik dengan melakukan internalisasi demokrasi melalui tiga hal. Yaitu, pertama, secepat mungkin menyu-sun sebuah proses rekruitmen yang sehat. Karena jika partai politik tidak dapat melakukan tugas ini dengan benar maka yang merasakan kerugian tersebut adalah bangsa ini.
Misalnya jika kita perhatikan wakil rakyat yang ada di kota kabupaten dan daerah tingkat I, yang mulai dikritik oleh masyarakat, ini adalah tanda bahwa partai politik belum dapat melaksanakan rekruitmen yang sehat. Jadi hal ini harus cepat diselesaikan. Tidak ada pilihan lain, karena partai politik adalah ujung tombak demokrasi, yang akan membangun pemerintah-an dan suprastruktur di republik ini. Jika hal ini tidak dilaksanakan, tujuan kita untuk mencapai demo-krasi modern yang menghasilkan good government atau pemerintahan yang sehat akan terhambat.
Kedua adalah bagaimana di antara partai politik menciptakan suasana berkompetisi yang tidak menimbulkan konflik, yang tentu diatur melalui undang-undang dan peraturan partai politik.
Ketiga adalah bagaimana partai-partai politik menyelesaikan persolan-persoalan mengenai transparansi keuangannya, serta adanya peraturan yang mengatur bagaimana partai-partai politik dapat ikut dalam Pemilu.
Ia sendiri adalah orang yang mendukung dibentuknya aturan yang jelas agar setiap orang memiliki kebebasan yang seluas-luasnya dalam membentuk partai politik tanpa dipersulit. Sebab hal itu adalah hak dasar. Jika seseorang kehilangan haknya, ia juga kehilang-an kemanusiaannya. Ia dikatakan manusia karena memiliki kebebasan. Jadi jika ia kehilangan hak dalam berkumpul dan berserikat, hilang jugalah kemanusiannya.
Tapi harus ada aturan yang jelas. Aturan itu harus disepakati bersama dan tidak dapat diubah-ubah. Sebab jika mudah berubah, malah akan menjadi sangat rawan bagi terjadi-nya konflik. Sebagai pembanding bisa lihat di luar negeri yang aturannya jelas. Sehingga partai politiknya sehat, dan berpengaruh pada keadaan bangsa tersebut.
Ia sangat sedih jika banyak tokoh-tokoh non-partai, yang sebenarnya dapat menjadi tokoh partai, berada di luar partai lalu hanya dapat mengkritisi dan menutup diri. Sehingga seakan-akan hanya dirinya saja yang dapat mewakili rakyat. Padahal semua tahu, partai politik adalah ujung tombak demokrasi. Jadi membangun demokrasi harus dengan cara memperkuat partai politik dengan dukungan ke arah yang lebih baik. Atau mendirikan partai politik. Walaupun di sisi lain kita juga harus mempuyai masyarakat sipil yang kuat untuk mengarahkan gerak partai politik.
Korupsi dan Kemiskinan
Pengagum Bung Karno dan Amien Rais ini melihat ada tiga masalah yang dihadapi bangsa ini dalam beberapa tahun terakhir, yakni kemiskinan, terancamnya kerukunan dan ganasnya korupsi.
(Ia memajang foto Bung Karno bersalaman dengan Kanselir Jerman Conrad Adenaeur (1953). Ketika itulah orang-orang Indonesia dikirim ke Jerman yang kemudian menjadi scientist-scientist kita di sini. Jadi, ia bangga dengan shakehand-nya Bung Karno dengan Kanselir Jerman ini. Conrad Adenaeur adalah bapak pembangunan ekonomi yang membangun kembali Jerman, paska perang dunia kedua.)
Tiga persoalan besar yang menjadi perhatiannya itu: Pertama, mening-katnya secara tajam kemiskinan di Indonesia dari 22,5 juta atau sekitar 11,3% dari seluruh penduduk Indonesia pada tahun 1996 membengkak jadi 49,5 juta orang atau sekitar 24,2% dari jumlah penduduk pada tahun 1998. Kemiskinan ini, sebagai akibat kemiskinan struktural maupun kemiskinan karena gelombang resesi.
Standar untuk menentukan garis kemiskinan pada 1996 adalah pendapatan per kapita sebesar Rp 38.246 per bulan untuk perkotaan dan Rp 27.413 untuk pedesaan.
Lalu, tahun 1999 jumlah penduduk miskin itu sedikit berkurang menjadi 48,4 juta orang. Standar yang digunakan secara nominal, yaitu Rp 92.409 untuk perkotaan dan Rp 74.272 untuk pedesaan. Lalu tahun 2002 berkurang lagi menjadi sekitar 37,5 juta orang. UU Program Pembangunan Nasional (Propenas), mengama-natkan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan pada 2004 tidak boleh lebih dari 30 juta orang atau sekitar 14% dari jumlah penduduk.
Namun, pemerintah memperkirakan penurunan rasio angka kemiskinan yang ditargetkan dalam Propenas itu tidak akan tercapai. Maksimal upaya yang bisa dilakukan pemerintah adalah menekan rasio angka kemiskinan tersebut antara 16 sampai 17 persen.
Kemiskinan ini telah mengakibatkan ketidakberdayaan masyarakat di berbagai bidang kehidupan, terutama bidang kesehatan. Nutrisinya sangat rendah, tentu akan menghasilkan generasi lemah. Berakibat kepada sumber daya manusia yang tidak tangguh pada generasi berikutnya. Ini sungguh memprihatinkan. Maka, ia sangat serius tentang hal ini.
Kedua, menurunnya semangat toleransi dan terlalu mengedepan-kan sikap-sikap keakuan. Apakah itu keakuan dalam konteks hukum, konteks agama, atau dalam konteks kelompok. Semangat kebersamaan jauh menurun, yang berakibat terdesaknya kelompok masyarakat miskin yang tidak berdaya.
Ketiga, hal yang paling klasik, yakni masih ganasnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Sehingga, kita membutuhkan sebuah resep. Resep yang mampu membangkitkan kembali (revitalisasi) semangat kebersamaan dan nasionalime bangsa ini.
Ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya. “Tetapi jika Tuhan memberikan kesempatan untuk meminta apa saja dan pasti dikabulkan-Nya, saya pasti tidak akan meminta supaya saya berkuasa, tetapi saya akan meminta agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, terbebas dari kemiskinan dan kebodohan. Itu yang pasti saya minta. Hanya satu itu saja,” kata Menristek ini dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia, di ruang kerjanya.
Profil Lengkap
Nama Lengkap : Ir. M. Hatta Rajasa
Lahir: Palembang,18 Desember 1953
Agama: Islam
Isteri: Drg.Oktiniwati Ulfa Dariah Rajasa,
Anak: Reza, Aliya, Azimah dan Rasyid
Pendidikan: Insinyur Perminyakan Institut Tehknologi Bandung (ITB)
Pengalaman Pekerjaan:
2009-2014 Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu II
2007-2009 Menteri Sekretariat Negara Kabinet Indonesia Bersatu I
2004-2007 Menteri Perhubungan Kabinet Indonesia Bersatu
2001-2004 Menteri Riset dan Teknologi Kabinet Gotong Royong
2000-2005 Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (DPP-PAN)
1999- 2000 Ketua Fraksi Reformasi DPR.
1982- 2000 Presiden Direktur Arthindo
1980 -1983 Wakil Manager teknis PT. Meta Epsi Perusahaan pengeboran minyak
1977 -1978 Teknisi Lapangan PT. Bina Patra Jaya
Penghargaan :
“Bintang Mahaputera Adipradana” – Pemerintah Republik Indonesia (2013)
“Narasumber/Pejabat Yang Paling Mudah Dihubungi Wartawan” – Persatuan Wartawan Indonesia Jaya (2013)
“Economic Booster of The Year” – Indonesia Property&Bank (2013)
“Reformasi Award” – Pro Democracy (2013)
“Pemimpin Pembangunan Ekonomi Nasional” – Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Jawa Timur (2013)
“The Rising Stars’s Men Obsession’s 9 Young Leaders 2013-2014″ – Men Obsession’s (2013)
“Gwanghwa Medal” – The first rank of the Order Of Diplomatic Service Merit, Republic of Korea Jakarta (2012)
“Pemimpin Perubahan 2011″ – Republika (2011)
“Public Policy Award” – Asia Society (2011)
“Ganesha Prajamanggala Bakti Kencana” – Institut Teknologi Bandung (2011)
“Charta Politica Award” – (2010)
“Ganesha Prajamanggala Bakti Adiutama” – Institut Teknologi Bandung (2009)
0 comments:
Alhamdulillah wa'syukurilah Bersyukur padamu ya Allah Kau jadikan kami saudara, Indah dalam kebersamaan