Home » » Epistemologi Sain Sekuler dan Epistemologi Sain Islami

Epistemologi Sain Sekuler dan Epistemologi Sain Islami

Written By Dedi E Kusmayadi Soerialaga on Selasa, 10 Juni 2014 | 6/10/2014

Epistemologi sain sekuler dan epistemologi sain Islami dapat diiden- tifikasi sebagai berikut :

Epistemologi sains sekuler berpandangan bahwa pencapaian pengetahuan ilmiah semata-mata merupakan fungsi dari bekerjanya indra dan akal manusia.

Dengan pandangan epistemologis demikian itu, maka filsafat sain sekuler hanya berpandangan bahwa pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan) secara sempit dalam wilayah keterjangkauan indra lahiriah dan/atau kemampuan rasional manusia.

Pandangan epistemologis Islami sebenarnya juga menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah dapat dicapai antara lain dengan indra dan akal, akan tetapi indra dan akal itu menurut konsep Islam mempunyai pengertian yang berbeda secara mendasar dengan pandangan epistemologi sains sekuler.

Pertama mengenai indra. Dalam hal ini epistemologi Islami berpandangan adanya dua kategori indra, yaitu indra lahiriah dan indra batiniah (indra kalbu) atau fuad. Indra batiniah (fuad)  inilah yang tidak dikenal dalam epistemologi sains sekuler. Padahal dalam rangka berpengetahuan, peranan indra batiniah itu sangat jelas, yaitu untuk mempersepsi realitas non-fisik.

Memang dapat dimaklumi (walaupun tidak bisa diterima) mengapa filsafat ilmu sekuler tidak mengenal indra batiniah, sebab ilmu-ilmu sekuler, khususnya dalam perkembangan mutakhirnya dewasa ini, memang tidak mengenal adanya realitas di luar realitas alam fisik. Sementara itu, dalam pandangan Islam, realitas non-fisik dipahami keberadaannya sebagaimana ditekankan oleh al-Qur’an sebagai alam gaib.

Pada konteks ini merupakan penyimpangan yang paling nyata antara sain sekuler dan sain lslami. Sain sekuler mengenyampingkan segala sesuatu yang bersifat gaib dan karena itu sangat menganut pandangan sekularisme. Realitas yang dipahaminya hanyalah realitas alam fisik duniawi kini, dan tidak mengenal alam gaib dan alam ukhrawi. Karenanya, dengan hanya menggunakan prinsip-prinsip sain sekuler untuk melakukan penjelasan ilmiah mengenai ajaran Islam dipastikan akan mengalami kesulitan, sebab ada nilai-nilai yang tidak bisa diakomodirnya.

Selanjutnya mengenai akal. Filsafat ilmu sekuler mengenal akal identik dengan otak pada manusia dengan keseluruhan fungsi sistem sarafnya. Karena itulah maka, apa yang dipahami oleh sain sekuler sebagai yang masuk akal atau rasional adalah hubungan-hubungan logis (deduktif maupun induktif) yang kemudian dikembangkan pemahamannya.

Berbeda dengan itu, dalam konsep epistemologi lslami yang telah dikemukakan di atas, akal adalah sekadar sebuah benda secara terminologis yang sesungguhnya menunjuk pada qalb (hati), artinya, salah-satu potensi qalb sebenarnya adalah berakal. Ketika qalb melaksanakan fungsi memahami maka pada saat itu ia memerankan dirinya sebagai akal.

Hati dalam fungsi berakalnya melakukan tindak memahami hubungan- hubungan logis yang diberikan sebagai hasil penalaran yang ber- langsung pada otak manusia. Jadi akal bukan di otak, dan otak tidak melakukan tindakan memahami.

Pengetahuan yang dihasilkan melalui kerja akal adalah pengeta- huan menjelaskan (explanated knowledge), yaitu pengetahuan yang menjelaskan hubungan sesuatu apa adanya menurut kenyataan faktualnya. Padahal apa yang terjadi menurut kenyataan faktualnya, khususnya pada realitas kehidupan manusia, belum tentu adalah apa yang seharusnya.

Sain sekuler hanya mengenal bentuk akhir pengetahuan sebagai produk akal. Karena itulah sain sekuler mengenal prinsip ilmu bebas nilai. Sementara itu dalam epistemologi Islami pengetahuan pada tingkat akal belumlah selesai sebagai sebuah pengetahuan ilmiah. la masih memerlukan proses lebih lanjut pada tingkat proses pengolahan lubb. Seperti telah dijelaskan di atas, sebagaimana fuad dan 'aql adalah alat secara tenninologis yang sebenarnya tetap menunjuk pada qalb, demikian pula halnya lubb. Lubb adalah alat terminologis qalb yang menjalankan fungsi pensenyawaan kerja indra, fuad dan 'aql. Dalam al-Qur’an fungsi itu disebut zikr-fikr.

Dengan zikr-fikr, lubb bekerja memproses pengetahuan berdasarkan data indrawi fisik, data indrawi fuad dan hasil pemahaman 'aql sehingga melahirkan pengetahuan yang tidak terlepas dari dimensi transendennya. Artinya, pengetahuan selalu dilihat sebagai hikmah dari adanya Allah, dan dilihat apa fungsi seharusnya bagi kehidupan manusia. Perhatikan konteks al-Qur’an berikut:

Wahai Tuhan Kami (ternyala) Engkau tidak menciptakan semua itu sia-sia. Maha Suci Engkau, jauhkanlah kami dari adzab neraka.

Pada ayat tersebut terlihat isyarat petunjuk Allah mengenai dua hal, yaitu (1) kesadaran ilmuan yang memfungsikan lubbnya, dan (2) pembahasaan ilmu oleh ilmuan yang memfungsikan lubbnya.

Dalam hal ilmuan yang memfungsikan lubbnya, ayat tersebut memberi isyarat petunjuk bahwa melalui proses
zikr-fikr :

Capaian pertama yang selalu dicapai oleh ilmuan adalah meningkatnya kesadaran ketuhanannya, sebagaimana diisyaratkan oleh kalimat Rabbana. Hal ini hanya bisa dicapai oleh ilmuan tersebut karena potensi fuadnya bekerja sehingga bisa mengindera bagaimana segala kemahaan sifat-sifat Allah tercermin dalam realitas yang dipahaminya.

Justru atas kesadaran ketuhanan itulah, ilmuan tersebut melihat ketidak sia-siaan ciptaan Allah yang dipelajarinya, yang kemudian dibahasakannya dalam bahasa ilmiah. Secara teknis makna tersebut direpresentasikan oleh kalimat maa khalaqta haadza baatilan.

Karena memiliki kesadaran mengenai kedudukan dan hakikat ilmu yang duemukannya, ilmuan kemudian mclihat lebih jauh bahwa pada dasarnya ilmu tersebut harus digunakan untuk: (a) tidak menodai kemahasucian Allah, baik dalam pemahaman maupun penggunaannya, (b) tidak menggunakan ilmu tersebut pada perbuatan-perbuatan yang mengakibalkan azab neraka. Dengan pemahaman demikian, maka ilmu digunakan untuk ibadah kepada Allah dalam arti luas, termasuk didalamnya dalam rangka penciptaan kemaslahatan hidup duniawi dan penegakan nilai-nilai moral. Makna ini dipahami terkandung dalam kalimat al- Qur’an : subhanaka fa qina 'adzaban nar.

Pada sisi pembahasaan ilmu, ayat tersebut mengisyaratkan:
Pemyataan  pengetaluian hasil proses keilmuan tingkat lubb selalu dibahasakan dengan bahasa kesadaran ketuhanan. Dengan demikian, siapapun yang membaca pernyataan pengetahuan tersebut akan membaca bagaimana hubungan Allah dengan ilmu yang terkandung dalam ciptaanNya.
Pernyataan pengetahuan hasil proses keilmuan tingkat lubb dapat menunjukkan kenyataan faktual dan kenyataan yang seharusnya terjadi.

Pernyataan pengetahuan hasil proses keilmuan tingkat lubb dapat menunjukkan bagaimana seharusnya pengetahuan tersebut digunakan dalam rangka ibadah kepada Allah. Termasuk dalam hal ini, dari sisi sebaliknya, memberi warning terhadap bahaya-bahaya kemanusiaan akibat penyalahgunaannya.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas akhirnya terlihat betapa konsep epistemologi Islami meletakkan pengertian mengenai pengetahuan ilmiah secara sangat berbeda dengan pengertian dalam sain sekuler.

Apa yang dicapai oleh epistemologi sain sekuler juga dapat dicapai oleh epistemologi Islami, narnun tidak seluruhnya yang dicapai oleh epistemologi Islami dicapai oleh epistemologi sain sekuler.

Akibat pandangan epistemologis sain sekuler demikian itulah yang dipandang oleh Roger Garaudy sehingga mengatakan bahwa apa yang diberikan oleh filsafat Barat pada akhirnya tidak lebih dari sekadar cara berfikir. Atau oleh CA. Qadir yang menyatakan bahwa epistemologi Barat telah memutus pengetahuan dari akarnya. Atau oleh Naguib Al Attas yang menyatakan bahwa epistemologi Barat tidak mampu melihat realitas dalam kerangka wahyu.


HAKIKAT ILMU

Setelah kita membahas beberapa aspek pokok filsafat ilmu menurut dua pandangan, yaitu menurut pandangan filsafat sain dan filsafat ilmu Islami; kita dapat menurunkan pengertian mengenai ilmu, atau ilmu pengeta- huan atau pengetahuan ilmiah.

Berdasarkan aspek-aspek pembahasannya, dari filsafat sain sekuler dapat diturunkan pengertian bahwa :
Dari pandangan sumber pengetahuan, ilmu adalah pengetahuan ilmiah manusia mengenai realitas yang diperoleh dari beberapa kemungkinan sumber, yakni indra, akal, intuisi atau orang-orang yang memiliki otoritas keilmuan tertentu.

Dari sudut pandang ontologi, ilmu adalah pengetahuan ilmiah yang hanya berkenaan dengan obyek-obyek empiris dan/atau entitas rasional.

Dari sudut pandang epistemologi, ilmu adalah pengetahuan ilmiah yang harus diperoleh melalui metode ilmiah yang mewujudkan prinsip-prinsip empirisme dan/atau rasionalisme.

Dari sudut pandang  aksiologi, ilmu adalah pengetahuan ilmiah yang dalam proses dan pernyataannya harus bebas dari nilai-nilai selain dari nilai-nilai ilmiah itu sendiri.   
 
Selanjutnya, dengan cara yang sama, dari filsafat ilmu Islami kita bisa menurunkan pengertian bahwa :
Dari sudut pandang sumber pengetahuan, ilmu adalah pengetahuan ilmiah manusia mengenai realitas yang sumbernya hanya Allah swt.

Dari sudut pandang ontologi, ilmu adalah pengetahuan ilmiah manusia mengenai realitas, baik realitas syahadah maupun realitas gaib.

Dari sudut pandang epistemologi, ilmu adalah pengetahuan ilmiah manusia yang diperoleh dengan memelalui pemanfaatan petunjuk (al-Quran) Sumber Ilmu melalui pelaksanaan metode ilmiah yang secara relevan mengaktualkan potensi internal berupa indra, fuad, aql dan lubb serta potensi eksternal yaitu ahl al zikr.

Dari sudut pandang aksiologis, ilmu adalah pengetahuan ilmiah yang melalui proses, pernyataan bahasa dan penggunaannya meng- akomodir secara relevan dan proporsional nilai-nilai ilmiah, tauhid, syar'i dan akhlaqi.
Dua pengertian mengenai ilmu di atas jelas memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Pada intinya, perbedaan tersebut sangat mendasar karena terletak dimensi keimanan dalam ilmu.

Dalam pandangan Islami, dimensi keimanan adalah dimensi yang inhearent dcngan dengan ilmu, yang ditunjukkan oleh digunakannya landasan ke-Tuhan-an dan pandangan mengenai hierarki realitas mulai dari tingkat syahadah (fisik) hingga gaib. Itu sebabnya, konsep ilmu dalam Islam tetap berpijak pada kesadaran ke-Tuhan-an dan kesadaran akhlaqi dan kesadaran eskatologis (ukhrawi).

Karena dimensi keimanan itu merupakan bagian tak terpisahkan dalam konsep keilmuan Islami, maka implikasi tuntutannya ialah penggunaan wawasan keimanan dalam proses keilmuan. Bukti konkrit dari penggunaan wawasan keimanan tersebut dalam keilmuan, harus terlihat dalam ekspresi keilmuan setiap ilmuan yang menggunakan paradigmanya, baik dalam sikap maupun pemyataan ilmiah. Pembahasan mengenai ekspresi ini bisa dilihat pada pembahasan mengenai sikap ilmiah ilmuan dan bahasa ilmu yang akan dibicarakan pada pembahasan berikutnya.

Berbeda dengan pandangan Islami, filsafat sain sekuler justru dengan pertimbangan demi keilmiahan pengetahuan memandang harus melepaskan diri dari wawasan keimanan tersebut. Sejak langkah awal proses keilmuannya, filsafat sain sekuler memang telah meletakkan pandangan mengenai sumber ilmu yang tidak ada hubungannya dengan Tuhan. Karena itu sain sekuler sejak awal telah melepaskan diri dari penempatan Tuhan sebagai sumber iimu. Demikian halnya dalam pandangan ontologi keilmuan, filsafat sain sekuler secara sengaja  membangun domain pengetahuan ilmiah hanya pada realitas fisik-materil.

Peletakan domain pengetahuan ilmiah secara demikian, tidak hanya dilakukan oleh filsafat sain sekuler dengan pertimbangan bahwa ada wilayah lain (gaib) di luar atau di atas realitas fisik, tetapi memang tidak mengakui keberadaan realitas gaib tersebut.

Sudah tentu, adalah menjadi implikasi logis pandangan keilmuan sekuler bila dalam seluruh proses keilmuan, ilmuan dibawa dalam proses sekularisasi dan pelepasan diri dari kesadaran ke-Tuhan-an serta kesadaran eskatologis. Itu sebabnya, kata sekuler diletakkan sebagai identitas pada pandangan filsafat sain sekuler tersebut.


ILMUWAN MENURUT FILSAFAT SAIN ISLAMI

Penetapan kriteria ilmuwan menurut filsafat sain moderen, ilmuwan menurut filsafat ilmu islami juga dapat dipahami berdasarkan pandangan keilmuannya yang dibentuk oleh filsafat ilmu islami sebagai berikut:

Ilmuwan adalah mereka yang dalam konteks keilmuan mengejawantahkan pandangannya mengenai Allah sebagai Sumber Ilmu. Manusia dipandang  bukan sebagai sumber ilmu   melainkan penerima ilmu melalui pelaksanaan petunjuk untuk memperoleh ilmu dari Allah swt yang terkandung dalam wahyuNya.

Ilmuan adalah mereka yang dalam konteks keilmuan meletakkan pandangannya terhadap obyek ilmu sebagai ayat-ayat Allah (tanda-tanda adanya Allah dengan segala sifat kemahaanNya). Realitas yang dipahaminya  tidak hanya yang bersifat empirik (syahadah) tapi juga metaempirik (gaib). Atas dasar itu, pengetahuan ilmiah dipandangnya sebagai segala bentuk pengetahuan mengenai realitas tersebut.

Ilmuan adalah mereka yang dalam konteks keilmuan berpandangan bahwa pengetahuan ilmiah dapat diperoleh secara absah dan benar berdasarkan petunjuk Allah melalui al-Qur’an dan Sunnah rasulNya. Karena itu pengetahuan ilmiah dapat diwujudkan melalui potensi internal berupa indra lahiriah dan indra batiniah (fuad), 'aql dan lubb,  serta melalui potensi eksternal yakni otoritas dan ciptaan Allah yangmenjadi obyek ilmu itu sendiri.

Ilmuan adalah mereka yang berpandangan bahwa Allah adalah sumber seluruh nilai, sehingga nilai-nilai ilmiah dan nilai-nilai selainnya bersumber dari sumber yang satu yakni Allah. Atas dasar itu, ilmuan tidak memandang otonomi ilmu dalam kebebasannya secara terpisah dari nilai-nilai lain tapi menempatkannya secara proporsional  dan relevan sejak dari ilmu berupa gagasan, proses hingga produk dan penggunaan. Ilmuan memandang bahwa ilmu adalah sarana untuk beribadah kepada Allah dan potensial untuk mewujudkan kehidupan yang maslahat dunia-akhirat.

0 comments:

Alhamdulillah wa'syukurilah Bersyukur padamu ya Allah Kau jadikan kami saudara, Indah dalam kebersamaan

UP DATE VIDEO PKS

TOTAL LAYANGAN BULAN INI

TRENDING

 
Copyright © PKS DPC Sumedang Utara - All Rights Reserved
    Facebook Twitter YouTube