Home » » Kepemimpinan Dalam Pandangan Islam

Kepemimpinan Dalam Pandangan Islam

Written By Dedi E Kusmayadi Soerialaga on Selasa, 10 Juni 2014 | 6/10/2014

Kepemimpinan menurut pandangan Islam

PEMIMPIN PERSPEKTIF AL-QUR'AN

Oleh: Muh. Shaleh Suratmin
 
  1. PENDAHULUAN

Nabi Muhammad saw., pemimpin agama dan negara. Beliau mengemban dua tugas tersebut sekaligus. Di satu sisi sebagai nabi dan rasul Allah yang menyampaikan dakwah Islam, di sisi lain sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara Madinah ketika itu. Sepeninggal Nabi saw,1 muncul persoalan politik (siyāsah) terutama yang berkenaan dengan estapet kepemimpinan, dan pada gilirannya timbul perbedaan pendapat di kalangan sahabat tentang siapa yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi saw sebagai pemimpin dalam menjalankan roda pemerintahan setelah wafatnya.

Meskipun masalah kepemimpinan pasca wafatnya Nabi saw tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abū Bakar al-Sddīq (w. 23 H/634 H) sebagai khalifah, namun dalam waktu tidak lebih dari tiga dekade, persoalan serupa muncul kembali dalam lingkungan umat Islam. Kalau yang pertama antara kaum Muhājirīn dan kaum Ansār, maka yang terakhir adalah perselisihan antara Khalifah 'Ali bin Abū Tālib (w. 41 H/661 M) dan Mu'awiyah bin Abī Sufyān (w. 64 H/680 H).2

Terjadinya perselisihan dalam memilih dan menentukan pemimpin di masa khulafā' al-rāsyidūn, dan hal tersebut berlangsung terus sampai masa dinasti-dinasti Islam, disebabkan adanya perbedaan konsepsi dalam memahami kriteria pemimpin yang disinggung oleh al-Qur'an. Sebagai gambaran awal, kriteria pemimpin yang dipahami dalam komunitas Syī'ah dan Sunni berbeda. Perbedaan kriteria tersebut, juga dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan pengungkapan term yang terkait dengan pemimpin dalam al-Qur'an, misalnya ada term-term khalāif/khalīfah, term imāmah/imām. Term pertama, lebih populer di kalangan Sunni, sedangkan term kedua lebih populer di kalangan Syī'ah. Di samping itu, ditemukan lagi terma lain dalam al-Qur'an yang terkait dengan masalah pemimpin yakni term ūlu amri/al-amīr, dan di dalam hadis ditemukan term rā'in.

Tentu saja untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana kriteria pemimpin dalam al-Qur'an, maka sangat penting diadakan kajian tentangnya melalui pendekatan tafsir maudhu'iy.

Berdasar pada uraian latar belakang yang telah dikemukakan, maka masalah pokok yang dikaji adalah, bagaimana kriteria pemimpin dalam al-Qur'an berdasarkan tinjauan tafsir maudhui'iy. Selanjutnya dibahas pengertian pemimpin, redaksi ayat-ayat al-Qur'an tentang kriteria pemimpin, kriteria pemimpin perspektif al-Qur'an.

  1. PEMBAHASAN

  1. Pengertian Pemimpin

Pemimpin berasal dari kata “pimpin” (dalam bahasa Inggris lead) berarti bimbing dan tuntun. Dengan demikian di dalamnya ada dua pihak yang terlibat yaitu yang "dipimpin" dan yang "memimpin". Setelah ditambah awalan “pe” menjadi “pemimpin” (dalam bahasa Inggris leader) berarti orang yang menuntun atau yang membimbing. Secara etimologi pemimpin adalah orang yang mampu mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok.3 Kemudian secara terminologis banyak ditemukan definisi tentang pemimpin.4 Para pakar manajemen biasanya mendefinisikan pemimpin menurut pandangan pribadi mereka, dan aspek-aspek fenomena dari kepentingan yang paling baik bagi pakar yang bersangkutan. Sehingga Stogdil membuat kesimpulan bahwa “there are almost as many definitions of leadership as there are persons who have attemptted to define the concept.5 Definisi kepemimpinan sesuai dan sebanyak dengan pandangan masing-masing yang mendefinisikannya.

Kemudian pemimpin yang dikemukakan oleh Edwin A. Locke, adalah orang berproses membujuk (inducing) orang lain untuk mengambil langkah-langkah menuju suatu sasaran bersama.6 Pengertian ini mengandung tiga elemen penting yaitu;

  1. Pemimpin adalah orang yang membuat suatu konsep relasi (relation concept). Disebut sebagai pemimpin apabila ada relasi dengan orang lain. Jika tidak ada relasi atau pengikut, maka hal itu tidak dapat disebut pemimpin. Tersirat dalam pengertian tersebut, bahwa para pemimpin efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan berelasi dengan para pengikut mereka;

  2. Pemimpin merupakan suatu proses. Agar bisa memimpin, pemimpin mesti melakukan sesuatu. Kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki posisi otoritas. Kendati posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan, tapi sekedar menduduki posisi itu tidak memadai untuk membuat seseorang menjadi pemimpin;

  3. Pemimpin harus membujuk orang-orang untuk mengambil tindakan. Pemimpin membujuk pengikut dengan berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (teladan), penerapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukturisasi organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi.

  1. Term Pemimpin perspektif al-Qur'an
  1. Khalīfah
  2. Imāmah
  3. Ulu al-Amr.

      1. Khalīfah

Term khalīfah diungkapkan antara lain dalam QS. al-Baqarah (2): 30 sebagai penegasan Allah swt tentang penciptaan manusia untuk menjadi pemimpin. Bentuk plural (jamak) term khalīfah tersebut adalah khalāif sebagaimana dalam QS. Fāthir (35): 39.

Secara etimologis, kata khalīfah berakar kata dengan huruf-huruf khā, lām, dan fā', mempunyai tiga makna pokok, yaitu mengganti, belakang, dan perubahan.7 Dengan makna seperti ini, maka kata kerja khalafa-yakhlufu-khalīfah dipergunakan dalam arti bahwa khalifah adalah yang “mengganti” kedudukan Nabi saw sebagai pemimpin, khalifah adalah pemimpin di “belakang” (sesudah) Nabi saw, khalifah adalah orang mampu mengadakan “perubahan” untuk lebih maju dan mensejahterahkan orang yang dipimpinnya.

Menurut Abu al-A'la al-Maududi, khalifah adalah bentuk pemerintahan manusia yang benar, menurut pandangan al-Quran, adalah pengakuan negara akan kepemimpinan dan kekuasaan Allah dan Rasul-Nya di bidang perundang-undangan, menyerahkan segala kekuasaan legislatif dan kedaulatan hukum tertinggi kepada keduanya dan menyakini bahwa khilafahnya itu mewakili Sang Hakim yang sebenarnya, yaitu Allah swt.8

Pengertian lain dalam konteks terminologis, khalifah adalah pemimpin tertinggi di dunia Islam yang menggantikan kedudukan Nabi saw dalam mengurus agama dan pemerintahan Islam. Empat khalifah pertama, Abū Bakar al-Shiddiq, 'Umar bin al-Hattab, Uśmān bin al-Affan, dan 'Ali bin Abi Thalib, masing-masing berperan dalam menyelesaikan berbagai persoalan agama di masanya, dan berperan memperluas wilayah pemerintahan Islam. Mereka juga memiliki peranan spiritual yang tinggi, dan hal itu teridentifikasi dari karya mereka ketika menjabat khalifah. Karenanya mereka menerima gelar penghormatan khalīfah al-rāsyidūn (pemimpin yang lurus). Bahkan pemimpin umat Islam sesudah mereka, tetap menggunakan gelar khalīfah, dan berpengaruh sampai sekarang.

 

2. Imāmah

Term imāmah berasal dari kata imām. Dalam Maqāyis al-Lughah dijelaskan bahwa term imām pada mulanya berarti pemimpin shalat. Imām juga berarti orang yang diikuti jejaknya dan didahulukan urusannya, demikian juga khalifah sebagai imam rakyat, dan al-Qur'an menjadi imam kaum muslimin. Imam juga berarti benang untuk meluruskan bangunan.9 Batasan yang sama, dikemukakan juga oleh al-Asfahāni bahwa الإمام المؤتم به، إنسان كأن يقتدى بقوله أو فعله أو كتابا أو غير ذلك وجمعه : أئمة 10 (al-imām adalah yang diikuti jejaknya, yakni orang yang didahulukan urusannya, atau perkataan-nya atau perbuatannya, imam juga berarti kitab atau semisal-nya. Jamak kata al-imām tersebut adalah a’immah).

Term imāmah dalam konteks Sunni>h dan Syīah berbeda pengertiannya. Dalam dunia Sunnī, imāmah tidak dapat dibedakan dengan khilāfah. Sedangkan dalam dunia Syīī, imamah bukan saja dalam konotasi lembaga pemerintahan, tetapi mencakup segala aspek. Hal ini disebabkan predikat imam bagi kaum Syī‘ah tidak saja terkait dengan aspek politik, tetapi juga mencakup aspek agama secara keseluruhan: akidah, syariah, mistik, dan yang disepakati oleh kaum Syī‘ah ialah bahwa imam harus berasal dari ahl al-bayt dengan garis keturunan ‘Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian kaum Syī‘ah memahami bahwa konotasi imam erat sekali dengan dimensi keagamaan dan menjadi kurang tepat bila dikaitkan dengan aspek politik saja. Dari sinilah sehingga konotasi imam harus tetap mengacu pada pengertian pemimpin spiritual atau keagamaan. 

Dengan analisis seperti ini di atas, maka konsep imamah (kepemimpinan) secara terminologis dalam Syī‘ah tidak dapat dilepaskan dari peranan dan misi keagamaan. Sebab umat selalu membutuhkan bimbingan, dan karenanya Tuhan menaruh perhatian utama guna memberikan bimbingan yang tidak terputus-putus buat umat manusia, di antaranya dengan menugaskan nabi memilih penerusnya (imām), dan setiap penerus menentukan penggantinya, demikian seterusnya. Dengan konsep imāmah sebagai yang terungkap di sini, praktis bahwa jiwa dan missi keagamaan (Islam) dapat dipertahankan sepanjang masa.

3. Ūlu al-Amr

Ulu al-Amr merupakan ungkapan frase nominal yang terdiri atas dua suku kata, ulu dan al-amr. Yang pertama bermakna pemilik, dan yang kedua bermakna "perintah, tuntunan melakukan sesuatu, dan keadaan atau urusan".11 Memperhatikan pola kata kedua, kata tersebut adalah bentuk mashdar dari kata kerja amara-ya'muru (memerintahkan atau menuntut agar sesuatu dikerjakan). Dari sini, maka kata ulu al-Amr diterjemahnkan "pemilik urusan" dan "pemilik kekuasaan" atau "hak memberi perintah". Kedua makna ini sejalan, karena siapa yang berhak memberi perintah berarti ia juga mempunyai kekuasaan mengatur sesuatu urusan dalam mengendalikan keadaan. Pengertian seperti inilah, maka ulu al-Amr disepadankan dengan arti "pemimpin".

Pengertian pemimpin dengan term ulu al-mar di atas, lebih luas karena mencakup setiap pribadi yang memegang kendali urusan kehidupan, besar ataupun kecil, seperti pemimpin negara, atau pemimpin keluarga, bahkan pemimpin diri sendiri juga termasuk di dalamnya.

3. Redaksi Ayat-ayat Tentang Kriteria Pemimpin

Dengan merujuk pada pengertian pemimpin yang telah diuraikan, maka akan diketahui ayat-ayat yang berkenaan dengan kriteria-kriteria pemimpin. Kriteria tersebut, dapat ditelusuri melalui beberapa ayat yang menggunakan term khalīfah, imām(ah), ulu al-amr dan derivasi dari term-term tersebut. Melalui pendekatan tafsir maudhu'iy, maka terlebih dahulu ayat-ayat yang dimaksud diklasifikasi dalam kelompok Makkiah dan Madaniah, sebagai berikut :

1. Ayat Makkiah
a. QS. al-Anbiyā’ (21): 73 dengan term a'immah, derivasi kata imāmah yakni :
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.12
b. QS. Fātir (35): 39 dengan term khalāif, derivasi kata khalīfah, yakni :
 هُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ فِي الْأَرْضِ فَمَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ وَلَا يَزِيدُ الْكَافِرِينَ كُفْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ إِلَّا مَقْتًا وَلَا يَزِيدُ الْكَافِرِينَ       كُفْرُهُمْ إِلَّا خَسَارًا
Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.13
c. QS. Sād (38): 26 dengan term khalīfah itu sendiri, yakni :
يَادَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (pemimpin) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari per-hitungan.14
2. Ayat Madaniah
a. QS. al-Baqarah (2): 124 dengan term imā(man), derivasi kata al-imāmah yakni :
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim me-nunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam (pemimpin) bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim".15
b. QS. al-Nisa (4): 59 dan 83 dengan term ulu al-amr, yakni :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.16

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).17
c. QS. al-Hadīd (57): 7 dengan term mustakhlifīn derivasi kata khalīfah, yakni :
ءَامِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasai (pemimpin) nya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya mem-peroleh pahala yang besar.18
d. QS. At-Taubah (9):128 dengan term (Rasul sebagai pemimpin), yakni :

لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min.19
Dari ayat-ayat yang telah dikutip, dipahami secara global bahwa kriteria pemimpin dalam QS. al-Anbiyā’ (21): 73, haruslah seorang pemimpin mampu memberi petunjuk. Dalam QS. Fātir (35): 39 kriteria pemimpin bukan orang kafir. Dalam QS. Sād (38): 26 kriteria pemimpin adalah memutuskan perkara dengan adil. Dalam QS. al-Baqarah (2): 124 kriteria pemimpin sama dengan kriteria yang dimiliki Nabi ibrahim as. Dalam QS. al-Nisa (4): 59 dan 83 kriteria pemimpin sesuai yang terdapat dalam Al-Qur'an, dan sesuai dengan kepemimpinan Rasul yang berhak diikuti. Dalam QS. al-Hadīd (57): 7 kriteria pemimpin harus orang beriman, dan senantiasa menafkahkan rezekinya di jalan Allah. 
 
Selanjutnya dengan mengacu pada QS. at-Taubah (9):128, menurut pakar pengkajian Tafsir Prof. Drs. H. M. Rafii Yunus, Ph.D, bahwa kriteria seorang pemimpin selain apa yang telah disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya, maka seyogyanya seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat dengan term sebagai berikut: 
 
(1) Tidak menyulitkan dan ikut merasakan penderitaan orang lain dengan term "مَاعَنِتُّمْ" (2) Mencarikan jalan keluar, penyantun dan mendambakan keselamatan dengan term "حَرِيصٌ عَلَيْكُم" (3) Lemah lembut serta belas kasih dengan term "رَؤُوفٌ" dan (4) Bersifat penyayang terhadap orang-orang mukmin dengan term " 
رَّحِيمٌ".20
Mengkritisi kriteria/sifat-sifat pemimpin sebagaimana tersebut pada QS. At-Taubah (9):128, maka kita dapat lebih mendekatkan pemahaman bahwa seorang pemimpin yang ideal itu harus memiliki sifat-sifat kemanusiaan yang fitrah dan tulus, karena sifat-sifat yang demikian itu sangat didambakan bagi seorang pemimpin. 
 
Demikian kriteria umum seorang pemimpin yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur'an.
 
3. Sabab Nuzūl Ayat
Sabab nuzul ayat adalah sesuatu yang melatarbelakangi sehingga ayat tersebut difirmankan oleh Allah. Namun ada sebagian ayat tidak ditemukan riwayat sabab nuzul-nya. Dari ayat-ayat tentang kriteria pemimpin yang memiliki sabab nuzul adalah QS. Sād (38): 26 yang tergolong Madaniah. Turunnya ayat ini terkait dengan ayat-ayat se-belumnnya yang mengkisahkan dari keistimewaan dan pengalaman Nabi Dawud. Rangkaian kisah dalam ayat tersebut diturunkan agar Nabi Muhammad Saw memperhatikan dan mengambil iktibar untuk mengha-dapi perilaku kesombongan dan permusuhan orang-orang musyrik.21 Jadi disimpulkan bahwa sebab diturunkannya ayat ini adalah untuk mendorong Nabi saw dan untuk menguatkan jiwanya, agar beliau sebagai pemimpin memiliki jiwa kesatria dalam menghadapi tantangan orang-orang musyrik ketika di Mekkah.

Kemudian yang tergolong dalam kelompok Madaniah, adalah QS. al-Baqarah (2): 124, turun bersamaan dengan ayat 125 berkenaan dengan pertanyaaan Umar bin Khattab kepada Nabi saw tentang maqam Ibrahim, dan kedudukan Nabi Ibrahim as, maka turunlah ayat tersebut.22 Selanjutnya QS. al-Nisa (4): 59, turun bekenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais ketika diutus oleh Nabi saw memimpin suatu pasukan.21 Dengan ayat tersebut diharapkan kepada setiap orang mengikuti petunjuk Allah, Rasul, dan para pemimpinnya, termasuk pemimpin perang. Dalam yang sama, ayat 83, turun berkenaan uzlah yang dilakukan oleh Nabi saw. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Nabi saw uzlah (menjauhi) istri-istrinya. Umar bin Khattab masuk ke mesjid di saat orang-orang sedang kebingungan sambil bercerita bahwa Nabi saw telah menceraikan istri-istrinya. Umar berdiri di pintu mesjid dan berteriak bahwa, Nabi saw tidak menceraikan istrinya dan aku telah menelitinya, maka turunlah QS. al-Nisa (4): 83 berkenaan dengan peristiwa tersebut untuk tidak menyiarkan berita sebelum diselidiki.23 Dari sini kemudian dipahami bahwa seorang pemimpin harus benar-benar menyampaikan sesuatu yang benar, dan jangan menginformasikan sesuatu sesuai degan hasil penelitian yang benar pula. Intinya, kriteria seorang pemimpin adalah antara lain, shiddiq, yakni selalu berlaku benar, dan betindak atas jalan kebenaran.
  1. Munasabah Ayat
Antara ayat yang satu dengan lainnya dalam Al-Qur'an, demikian pula antara satu surah dengan surah lainnya memiliki keterkaitan, terutama dari segi kandungan, dan hal yang demikian dalam ilmu tafsir disebut al-munāsabah
 
Ayat-ayat tentang kriteria pemimpin, tentu memiliki munasabah dengan ayat-ayat lainnya, terutama ayat-ayat yang telah dikutip sebelum nya sebab masing-masing ayat tersebut memiliki kesamaan tema, yakni tentang kriteria pemimpin. Dengan melihat bahwa ayat-ayat tersebut ada dalam kategori Makkiah dan Madaniah, menandakan bahwa masalah kepemimpinan telah menjadi fokus perhatian Al-Qur'an sejak Nabi saw menetap di Mekkah, dan di Madinah.
 
Berdasar pada sabab nuzul yang telah dikemukakan, dipahami bahwa Nabi saw ketika di Mekkah, telah memiliki jiwa kesatria sebagaimana kesatriaan Nabi Dawud as sebagai pemimpin yang diutus kepada kaumnya. Keadaan Nabi saw tersebut terus berlanjut sampai beliau menetap di Madinah, bahkan setelah hijrahnya, beliau mem-bangun sebuah negara disebut negara Madinah, dan beliau sendiri yang memimpin negara yang berpradaban tersebut.
 
Bila kembali diruntut ayat-ayat tentang kriteria pemimpin sesuai wurudnya, dipahami bahwa ayat pertama adalah QS. al-Anbiyā’ (21): 73 yang menerangkan bahwa kriteria seorang pemimpin harus mampu memberi petunjuk. Kriteria yang demikian, jelas dimiliki oleh orang-orang yang beriman dan praktis bahwa orang kafir tidak boleh dijadikan sebagai pemimpin sebagaimana dalam QS. Fātir (35): 39. Antara lain ciri khas orang beriman adalah adil dan hal tersebut merupakan syarat mutlak seorang pemimpin sebagaimana yang digambarkan dalam QS. Sād (38): 26. Ciri yang demikian inilah ada pada diri Nabi Ibrahim sebagaimana dalam QS. al-Baqarah (2): 124 dan rasul yang mengikuti sesudahnya, yakni Nabi Muhammad saw yang harus ditaati, demikian pula para pemimpin dengan kriteria demikian harus ditaati sebagaimana dalam QS. al-Nisa (4): 59 dan 83. Kemudian kembali lagi dipertegas dalam QS. al-Hadīd (57): 7 bahwa kriteria pemimpin harus orang beriman, dan di sini disebutkan ciri lain orang beriman selain yang telah disebutkan. Ciri tersebut adalah bahwa orang beriman adalah senantiasa menafkahkan rezekinya di jalan Allah. Artinya bahwa seorang pemimpin harus mampu mengelolah rezekinya untuk di jalan Allah misalnya untuk mensejahterakan kepentingan rakyat/masyarakatnya, sehingga terwujud sebuah negara yang makmur yang diistilahkan Al-Qur'an, baldatun thoyyibatun wa rabbun gafur.

Sejalan dengan uraian-uraian sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa kriteria seorang pemimpin yang dipahami melalui ayat-ayat Al-Qur'an berdasarkan pendekatan tafsir maudhu'iy. Kriteria-kriteria tersebut dapat adalah sebagai berikut :
1. Beriman
Kriteria beriman dipahami dari QS. al-Anbiyā’ (21): 73 yang menggunakan term "الأئمة" dan QS. Fātir (35): 39 dan QS. al-Hadīd (57): 7 yang menggunakan derivasi term "خليفة". Khusus term"الأئمة (al-aimmah) sebagaimana yang telah disinggung asal kata aslinya adalah al-imām.
Dalam pandangan Taba'tabā'i bahwa seorang imam haruslah beriman dan dalam posisinya sebagai pemimpin telah memperoleh hidayah, dan hal tersebut sebagai salah satu bagian dari imamah itu sendiri. Hidayah ini tidak diperoleh oleh sembarang orang, dan sembarang cara. Perolehan hidayah, sebagaimana juga perolehan kemaksuman akan didapat lewat kesabaran seorang hamba dalam menyosong pelbagai ujian dalam menuju Allah swt dan melalui keyakinannya yang mendalam.24 
 
Penjelasan Taba'tabā'i di atas tentu saja sesuai dengan redaksi awal ayat QS. al-Anbiyā’ (21): 73 yakni " وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ ..." di mana kata " يَهْدُونَ" di sini mengandung arti "mereka diberi hidayah". Kemudian lebih diperjelas lagi kriteria lain orang beriman dalam susunan ayat tersebut, yakni فِعْلَ الْخَيْرَاتِ (senantiasa berbuat baik), وَإِقَامَ الصَّلَاةِ (menegakkan shalat), وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ (mengeluarkan zakat), dan وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ (mereka mengabdikan dirinya kepada Allah semata). Inilah kriteria seorang pemimpin yang harus dipenuhi. 
 
Dalam konsep Syī'ah, kriteria pemimpin yang dipahami dalam koteks “يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا” pada QS. al-Anbiyā’ (21): 73 tadi bermakna bahwa imam (pemimpin) adalah sebagai pengikat sekaligus penghubung antar manusia dengan Tuhannya dalam hal urusan-urusan spiritual. Imam juga sebagai pembimbing bagi setiap manusia, sebagaimana Nabi saw menjadi pembimbing bagi setiap manusia untuk mencapai akidah yang kuat, dan untuk sampai pada amal-amal shalih.25 Konsep seperti itu, juga dipahami dalam konsep Sunnī namun rujukannya bukan saja QS. al-Anbiyā’ (21): 73 yang menerangkan tentang imamah, tetapi juga pada ayat lain terutama ayat yang menggunakan term khalifah dan derivasinya seperti term khalā'if pada QS. Fātir (35): 39.

Secara tegas setelah kata khalā'if dalam QS. Fātir (35): 39 ter-sebut dilanjutkan penjelasan tentang ancaman kekafiran. Jika dikaitkan dengan masalah kriteria pemimpin, jelas sekali bahwa orang kafir tidak boleh diangkat menjadi pemimpin. Kekafiran ini adalah antitesa dari keimanan yang berarti bahwa hanya beriman adalah kriteria dan sekaligus sebagai syarat utama seorang pemimpin. Ini mengandung petunjuk, agar manusia jangan memilih pemimpin yang kafir, namun sebaliknya mereka harus memilih pemimpin yang beriman, dan kriteria orang beriman telah disebutkan tadi, di samping itu ditemukan hadis yang menerangkan kriteria orang beriman dalam riwayat al-Bukhari, sebagai berikut :

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَبُو حَيَّانَ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ مَا الْإِيمَانُ قَالَ الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ. فَقَالَ مَا الْإِسْلَامُ قَالَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ. قَالَ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ 26 (رواه البخاري)
 
Musaddad menceritakan kepada kami, berkata: Ismā'īl bin Ibrāhim menceritakan kepada kami, Abū Hayyān al-Taymiy menceritakan kepada kami, dari Abī Zur'ah, dari Abū Hurairah berkata : Di suatu hari Nabi saw berkumpul bersama sahabatnya, dan tiba-tiba Jibrīl mendatanginya lalu bertanya tentang iman. Beliau menjawab. Iman adalah percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitabnya, rasul-rasulnya, dan hari kebangkitan. Lalu bertanya tentang Islam. Beliau menjawab, Islam adalah menyembah kepada Allah dan tidak mensekutukan-Nya dengan sesuatu, menegakkan shalat, menunaikan zakat yang ditetap-kan, dan berpuasa pada bulan Ramadhan. Jibril bertanya lagi, apa itu ihsan. Beliau menjawab, Ihsan adalah menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, apabila engkau tidak melihatnya, (yakinlah) Dia melihatmu. (HR. Bukhāri)

Di samping hadis tersebut membicarakan tentang kriteria orang beriman, juga berbicara tentang kepribadian mukmin yang baik, yakni orang Islam yang menjalankan shalat, puasa, zakat, dan berhaji bagi yang mampu. Khusus tentang shalat dan zakat, juga disebutkan dalam QS. al-Anbiyah (21): 73 tadi, di akhir ayat tersebut dijelaskan tentang mereka selalu menyembah Allah. Hal tersebut sejalan lagi dengan kelanjutan hadis di atas yang membicarakan tentang ihsan, yakni berbuat baik kepada Allah, di samping harus berbuat kepada sesama manusia.
 
2. Adil dan Amanah

Adil adalah kriteria pemimpin yang ditemukan dalam QS. Sād (38): 26. Ayat ini menerangkan tentang jabatan khalifah yang diemban oleh Nabi Dawud, di mana beliau diperintahkan oleh Allah swt menetapkan keputusan secara adil di tengah-tengah masyarakat, umat manusia yang dipimpinnya.

Kata “adil” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan dengan: (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2) berpihak kepada kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak sewenang-wenang.27 Selanjutnya kata "adil" dalam Alquran seringkali terungkap dalam dua term, yakni al-‘adl dan al-qisthu.28 Keadilan yang dimaksdukan Al-Qur'an adalah dirumuskan oleh al-Rāghib al-Ashfhāni dalam kitabnya Mufaradāt al-Alfāzh al-Qur’ān yakni : العدالة والعدل : لفظ يقتضى معنى المساواة (lafaz yang menunjukkan arti persamaan). Kata ‘adl ini digunakan untuk hal-hal yang bisa dicapai dengan mata batin (bashīrah), seperti persoalan hukum. Dalam konteks ini, ia mengacu pada QS. al-Māidah (5): 95 او عدل ذلك صياما . Ia mempersamakan antara term ‘adl dan taqsīth (al-qisth). Jadi keadilan dalam beberapa pengertian, yakni ; meletakkan sesuatu pada tempatnya; tidak melakukan kezaliman; memperhatikan hak orang lain; tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hikmah dan kemaslahatan.29
 
Redaksi QS. Sād (38): 2 yang menjadi acuan utama kriteria keadilan bagi seorang pemimpin, sejalan QS. al-Nisā (4): 58 yang memerintahkan seorang pemimpin berlaku adil, dan di dahului dengan perintah untuk menjalankan amanah kepemimpinan dengan sebaik-baiknya. Redaksi QS. al-Nisā (4): 58 adalah sebagai berikut :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetap-kan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Ayat di atas pada klausa وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ hampir sama redaksinya dengan redaksi QS. Sād (38): 2 pada klausa فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ . Dalam terjemahan Departemen Agama RI kata "بِالْحَقِّ" di sini diartikan "dengan keadilan", sejalan dengan arti yang sesungguhnya pada QS. al-Nisā (4):58 yang menggunakan kata "بِالْعَدْلِ".
Abd. Muin Salim menjelaskan bahwa dengan kata حَكَمْتُمْ atau فَاحْكُمْ dalam ayat tersebut menandakan bahwa menetapkan hukum dengan adil tidak hanya ditujukan kepada kelompok sosial tertentu dalam masyarakat muslim, tetapi juga ditujukan kepada setiap orang yang mempunyai kekuasaan mempimpin orang lain, seperti suami terhadap istri-istrinya, dan orang tua terhadap anak-anaknya.30 Dengan demikian dipahami bahwa pemimpin rumah tangga, yakni orang tua harus memiliki kriteria adil terhadap anak-anaknya mereka. Sejalan dengan itu ditemukan hadis tentang kriteria adil bagi orangtua sebagai pemimpin rumahtangga, yakni :
 
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ قَالَ تَصَدَّقَ عَلَيَّ أَبِي بِبَعْضِ مَالِهِ فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ لَا أَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ قَالَ لَا قَالَ اتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ فَرَجَعَ أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ31 (رواه مسلم)
 
Abū Bakar bin Abī Syaibah menceritakan kepada kami, Abbād bin al-Awwām menceritakan kepada kami, dari Husain, dari al-Sya'bi berkata, saya mendengar Nukman bin Basyir berkata bahwa, bapaknya telah menyerahkan sebagian hartanya. Ibu saya, Umrah binti Rawahah mengatakan : saya tidak menyetujui sebelum engkau mempersaksikan di depan Rasulullah saw. Bapak saya lalu men-datangi Rasulullah saw untuk mempersaksikan pemberiannya, lalu Rasulullah bertanya : "apakah hal sama engkau telah lakukan kepada semua anak-anamu ? Bapak saya menjawab, tidak. Rasulullah saw menjawab, "bertaqwalah kepada Allah dan berlaku adillah terhaap anak-anakmu". Bapak saya lalu kembali membatalkan shadaqah (pemberian)nya itu. (HR. Muslim).

Bila hadis di atas dipahami secara kontekstual, maka kandungan-nya adalah bahwa penanaman kriteria adil haruslah dimulai di lingkungan rumah tangga, dan hal tersebut harus pula diterapkan dan ditanamkan pada diri setiap pemimpin, pemimpin masyarakat, pe-mimpin bangsa dan negara.

Sebagai pemimpin yang baik maka ia juga harus memiliki sifat amanah, dan hal ini disebut bersamaan dengan term adil dalam QS. al-Nisā (4): 58 yang telah di kutip tadi. Amanah dalam pandangan Al-Maragi adalah sebuah tanggung jawab yang terbagi atas tiga, yakni (1) tanggung jawab manusia kepada Tuhan, (2) tanggung manusia kepada sesamanya, dan (3) tanggungjawab manusia terhadap dirinya sendiri.32 Dengan demikian, kriteria pemimpin yang dikonsepsikan di sini adalah tidak khianat terhadap tanggungjawab yang diberikan Allah, dan jabatan apapun diberikannya dari sesama manusia, dan terhadap dirinya sendiri. Intinya adalah, bahwa seorang pemimpin yang baik harus baik pula hubungannya dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia, hablun minallāh wa hablun minannās.

3. Rasuliy

Rasuliy artinya berkepribadian seperti Rasul Allah, yakni kriteria pemimpin yang memenuhi syarat seperti yang dimiliki Rasul Allah dalam menjalankan kepemimpinan. Bila merujuk pada ayat-ayat yang telah dikutip, diketahui bahwa Rasul Allah yang dimaksud adalah Nabi Ibrāhīm as sebagaimana dalam QS. al-Baqarah (2): 124, dan Nabi Muhammad saw sebagaimana dalam QS. al-Nisa (4): 59 dan 83.
 
QS. al-Baqarah (2): 124 menerangkan tentang penunjukan langsung kepada Ibrāhīm as dalam posisinya sebagai imamah (pemimpin), setelah beliau mendapat sederetan ujian dari Allah swt, terutama setelah memutuskan untuk mengorbankan anaknya, Ismā'il as berdasarkan perintah Allah swt kepadanya.33 Sebagaimana ditegaskan sendiri oleh al-Quran34 bahwa Ibrāhīm as, satu-satunya nabi yang dengan berbagai pengalamannya telah menemukan siapa Tuhan yang sebenarnya dan lalu ia beriman kepada-Nya. Dengan terang-terangan juga, ia menyatakan kejijikannya terhadap kemusyri-kan dan penyembahan berhala yang sedang menguasai masyarakat. Dia tidak lagi melihat jalan selain berjuang melawan kemusyrikan, tanpa merasa letih dan lemah, dia berjuang menyeru manusia kepada tauhid. Inilah pengalaman hidupnya dan ujian berat yang telah dilaluinya, sehingga dia sebagai bapak agama fitrah dan sekaligus imam bagi nabi-nabi sesudahnya, sebagaimana dalam QS. al-Nahl (16): 120; إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا (sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dijadikan teladan dan patuh kepada Allah, lagi ia hanīf).
 
Berdasarkan keterangan di atas, maka kriteria pemimpin yang dikehendaki adalah telah melalui beberapa tahap ujian dan atau seleksi yang ketat (fit and proper test), memiliki segudang pengalaman, mampu memberantas kebatilan, dapat dijadikan imam (panutan), dan diteladani oleh rakyat yang dipimpinnya.

Kemudian penggalan ayat di akhir QS. al-Baqarah (2): 124 tadi adalah disebutkan, Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam (pemimpin) bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Dari sini dipahami bahwa keturunan Nabi Ibrāhīm as, yakni termasuk Muhammad saw adalah seorang pemimpin yang harus ditaati. Ketaatan kepada Nabi Muhammad saw, secara jelas lagi dikemukakan dalam QS. al-Nisā (4): 59.

Dalam sīrah Nabi Muhammad saw, dia adalah pemimpin negara yang mampu mempersatukan semua kelompok etnis, suku, dan penganut agama-agama ketika membangun negara Madinah. Ini berarti bahwa termasuk kriteria pemimpin yang diharapkan adalah memiliki sikap tasāmuh (toleran).

Lebih lanjut QS. al-Nisā (4): 59 dan 83 disebutkan bahwa segala persoalan harus dikembalikan kepada pembuat undang-undang yakni Allah, Rasul-Nya, dan ulu al-amr. Di sini dipahami bahwa seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya harus merujuk pada ketentuan Al-Qur'an dan Sunnah. 
 
Berbicara tentang kriteria lain bagi seorang pemimpin menurut ketentuan Al-Qur'an, sangatlah luas di samping yang telah dikemukakan sebelumnya. Kriteria lain yang dimaksud misalnya, siddīq,35 sabar,36 fathanah,37 dan tablīg.38 Sedangkan menurut Sunnah, hadis Nabi saw antara lain yang bagian redaksinya adalah "اَلْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ (pemimpin adalah dari suku Quraisy)". Suku Quraisy di zaman Nabi saw sangat disegani dan dihormati, kuat, berwawasan luas, memiliki pengaruh dan massa yang kuat. Artinya bahwa kriteria seorang pemimpin harus beribawah, sehat jasmani dan rohani, tidak cacat tubuh, berilmu, memiliki solidaritas, dan pengaruh besar di tengah-tengah masyarakat.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasar pada pokok permasalahan yang dikaji, dan dengan kembali memperhatikan uraian-uraian yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan bahwa,
  1. Pemimpin dan masalah kepemimpinan perspektif al-Qur'an, merujuk pada istilah khalīfah, imāmah dan ūlu amr. Istilah khalifah dikenal dalam dunia Sunnī, dan imamah dikenal dalam dunia Syī'ah, yakni sebuah bentuk kepemimpinan yang mengurus masalah keagamaan agama dan pemerintahan. Sedangkan istilah ulul amr adalah, bentuk kepemimpinan dalam pemerintahan bangsa, negara, dan masyarakat.
     
  2. Redaksi ayat-ayat tentang kriteria pemimpin, terklasifikasi atas Makkiah dan Madaniyah. Ayat-ayat tersebut menggunakan term khalīfah, imāmah, dan ulu al-amr beserta derivasinya. Di antaranya memiliki sabab nuzul, dan masing-masing ayat memiliki munasabah karena adanya kesamaan tema.
     
  3. Kriteria pemimpin menurut Al-Qur'an, adalah beriman, adil, amanah, dan berkepribadian rasuliy dengan syarat-syarat yang ketat, yakni berpengalaman, mampun memberantas kebatilan, dapat diteladani dan ditaati, toleran, siddīq, sabar, fathanah, tablīg, berwibawah, sehat jasmani dan rohani, tidak cacat tubuh, berilmu, memiliki solidaritas, dan pengaruh besar di tengah-tengah masyarakat.
B. Implikasi
Berdasar pada kesimpulan di atas, maka implikasi kajian ini adalah sangat penting diketahui term-term atau istilah yang terkait dengan pemimpin dan kepemimpinan. Demikian pula redaksi-redaksi ayat tentang pemimpin, perlu diinterpretasi lebih lanjut, sehingga kriteria pemimpin menurut Al-Qur'an benar-benar dapat dipahami, dan diimplementasikan dalam kehidupan. Berkenaan dengan itulah, disaran-kan agar kajian tentang kriteria pemimpin dengan pendekatan tafsir maudhu'iy, terus dikembangkan. Untuk pengembangan kajian, disaran-kan pula adanya kritik terhadap masalah tersebut, untuk kesempurnaan pembahasan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'ān al-Karim
Al-Asfahāni, al-Al-Raghib. Mufradāt Alfāzh al-Qur’ān. Cet. I; Damsyiq: Dār al-Qalam, 1992, dan Bairūt: Dār al-Syāmiyah, 1412 H.
Al-Bukhāri, Abū ‘Abd. Allāh Muhammad ibn Ismā’īl ibn Ibrāhim ibn al-Mugīrah ibn al-Bardizbāt. Sahīh al-Bukhāriy, jilid I. Mesir: Dār al-‘Ilm, t.th.
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur'an, 1992.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, An English-Indonesian Dictionary. Cet. XXV; Jakarta: PT. Gramedia, 2003.
Hitti, Philip K. History of The Arabs. London: Macmillan Pres Ltd, 1970.
Hasan, Ibarāhim Hasan, Tarīkh al-Islām, juz I. Mesir: Maktabah al-Nahdah, 1964.
Ibn Fāris bin Zakariyah, Abū Husayn Ahmad. Mu’jam Maqāyis al-Lughah, jilid I. Mesir: Isā al-Bāb al-Halab wa Awlāduh, 1972.
Lapidus, Ira M. A. History of Islamic Societies diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas’adi dengan judul, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Kesatu dan Kedua. Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999.
Locke, Edwin A. and Associaties, The Essense of Leadership: The Four Keys to Leading Succesfully, diterjamahkan oleh Indonesian Translation dengan judul Esensi Kepemimpinan:Empat Kunci Memimpin dengan Penuh Keberhasilan. Cet.II; Jakarta: Mitra Utama, 2002.
Al-Marāghi, Ahmad Mustāfa. Tafsir al-Marāgi, juz V. Mesir: Mustafa al-Babi al-Halab wa Awladuh, 1973.
Al-Maududi, Abu al-A'la. Al-Khilāfah wa al-Mulk diterjemahkan Muhammad al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan. Cet. VI; Bandung: Mizan, 1996.
Nasir, Syed Mahmudun. Islam; Its Concepts and History, diterjemahkan oleh Adang Affandi dengan judul Islam; Konsepsi dan Sejarahnya. Cet. IV; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Al-Naysabūriy, Abu Husain Muslim bin al-Hajjāj. Sahīh Muslim, juz II. Bairut: Dār al-Kutub al-'Ilmiyah, 1992.
Salim, Abd. Muin. Fiqh Siyasah; Konsepsi Politik dalam Al-Qur'an. Cet. II; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1992.
Stogdill, Ralph M.. Handbook of Leadership. London: Collier Mac Millan Publisher, 1974.
Al-Suyuti, Jalal al-Din. Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul diterjemahkan oleh Qamaruddin Shaleh, et. al, dengan judul Asbabun Nuzul. Cet. II; Bandung: Diponegoro, 1975.
Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. VII; Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Al-Taba'taba'i, ‘Allāmah Muhammad Husayn. Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, jilid IV. Cet. II; Teheran: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1971.
Yulk, Gary A. . Leadership in Organizations. Cliffs: Prentice-Hall, 1981.
1 Nabi saw wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun 11 H atau 8 Juni 632 M. Dalam sejarah dikatakan bahwa, ketika Nabi saw merasa bahwa misinya sudah selesai, dan merasa bahwa masa akhir hanyatnya segera akan tiba, beliau memutuskan untuk menunaikan ibadah haji. Karena ini merupakan haji terakhir baginya, maka ia dikenal dengan sebutan hajjat al-wadā’. Setelah menunaikan ibadah haji, beliau sakit selama 13 hari lamanya sampai hari wafatnya tiba. Suatu hal yang istimewa, karena hari dan tanggal wafatnya Nabi saw bersamaan dengan hari dan tanggal kelahirannya, yakni Senin, 12 Rabiul Awal, tahun 570 bertepatan dengan Tahun Gajah, tahun ketika pasukan gajah Abrahah menyerang Mekah untuk menghancurkan Ka’bah, namun justeru pasukan gajah ketika itu yang hancur berantakan. Uraian lebih lanjut tentang sejarah Nabi saw, lihat misalnya Hasan Ibarāhim Hasan, Tarīkh al-Islām, juz I (Mesir: Maktabah al-Nahdah, 1964), h. 19-26. Philip K. Hitti, History of Arab (London and Basing Stoke: The Macmillan Press LTD, 1974), h. 12-20. Lihat Ira M. Lapidus, A. History of Islamic Societies diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas’adi dengan judul, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Kesatu dan Kedua (Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), h. 29-35. Lihat Syed Mahmudun Nasir, Islam; Its Concepts and History, diterjemahkan oleh Adang Affandi dengan judul Islam; Konsepsi dan Sejarahnya (Cet. IV; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 146-147.
2 Uraian lebih lanjut lihat Syed Mahmudun Nasir, ibid. Bandingkan dengan Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: Macmillan Pres Ltd, 1970), jh. 139-140.
3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 874. John M. Echols dan Hassan Shadily, An English-Indonesian Dictionary (Cet. XXV; Jakarta: PT. Gramedia, 2003), h. 351.
4 Ralp M. Stogdil menghimpun sebelas definisi tentang pemimpin, yakni sebagai pusat kelompok; sebagai kepribadian yang berakibat; sebagai seni menciptakan kesepakatan; sebagai kemampuan mempengaruhi; sebagai tindakan perilaku; sebagai suatu bentuk bujukan; sebagai suatu hubungan kekuasaan; sebagai sarana penciptaan tujuan; sebagai hasil interaksi; sebagai pemisahan peranan; dan sebagai awal struktur. Ralph M. Stogdill, Handbook of Leadership, (London: Collier Mac Millan Publisher, 1974), h. 7-15
5 Gary A. Yulk, Leaderhip in Organizations (Cliffs: Prentice-Hall, 1981), h. 2
6 Edwin A. Locke and Associaties, The Essense of Leadership: The Four Keys to Leading Succesfully, diterjamahkan oleh Indonesian Translation dengan judul Esensi Kepemimpinan:Empat Kunci Memmpin dengan Penuh Keberhasilan (Cet.II; Jakarta: Mitra Utama, 2002), h. 3
7 Abū Husayn Ahmad bin Fāris bin Zakariyah, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, jilid I (Mesir: Isā al-Bāb al-Halab wa Awlāduh, 1972), h. 210.
8 Abu al-A'la al-Maududi, Al-Khilāfah wa al-Mulk diterjemahkan Muhammad al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan (Cet. VI; Bandung: Mizan, 1996), h. 63.
9 Ibid., h. 82
10 Lihat al-Al-Raghib al-Asfahāni, Mufradāt Alfāzh al-Qur’ān (Cet. I; Damsyiq: Dār al-Qalam, 1992), h. 87
11 Ibn Faris bin Zakariyah, op. cit., h. 137 dan 139.
12 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur'an, 1992), h. 504.
13 Ibid., h. 702
14 Ibid., h. 736.
15 Ibid., h. 32.
16 Ibid., h. 128.
17 Ibid., h. 132.
 
18 Ibid., h. 901.
 
19 Ibid., h. 187.
 
20 M. Rafii Yunus. Seminar Tafsir Maudhu’iy,Kriteria Pemimpin. Tanggal 30 Jan 2007.
 21 Ibid., h. 140.
23 Ibid., h. 140.
24 ‘Allāmah Muhammad Husayn Taba'taba'i, Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, jilid IV (Cet. II; Teheran: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1971), h. 304.
25 Ibid.
26 Abū ‘Abd. Allāh Muhammad ibn Ismā’īl ibn Ibrāhim ibn al-Mugīrah ibn al-Bardizbāt al-Bukhāri, Sahīh al-Bukhāriy, jilid I (Mesir: Dār al-‘Ilm, t.th.), h. 7. Lihat juga Sahīh al-Bukhāriy dalam CD. Rom Hadīś al-Syarīf al-Kutub al Tis’ah, Kitab al-Imān, hadis nomor 821.
27 Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. VII; Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 7
28 Lihat misalnya QS. al-Hujurat (49): 9.
29 al-Rāghib al-Ashfhāni, Mufradāt Alfāzh al-Qur’ān (Cet.: Bairūt: Dār al-Syāmiyah, Damaskus: Dār al-Qalam, 1992 M/1412 H), h. 551-552
30 Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah; Konsepsi Politik dalam Al-Qur'an (Cet. II; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1992), h. 212.
31 Abu Husain Muslim bin al-Hajjāj al-Naysabūriy, Sahīh Muslim, juz II (Bairut: Dār al-Kutub al-'Ilmiyah, 1992), h. 1242-1243.
32 Ahmad Mustāfa al-Marāghi, Tafsir al-Marāgi, juz V (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halab wa Awladuh, 1973), h. 70.
   33 ‘Allāmah Muhammad Husayn Taba'taba'i, op. cit., jilid I; h. 263
   34 Lihat sederatan ayat dalam QS. al-Baqarah (2): 124-131, 258-260; QS. Ali Imrān (3): 67; QS. al-An‘ām (5): 74; Hūd (11): 70;
35 QS. al-Baqarah (2): 91
36 QS.al-Sajdah (32): 24
37 QS. al-Nahl (16): 125.
38 QS. Ali Imran (3): 104.

0 comments:

Alhamdulillah wa'syukurilah Bersyukur padamu ya Allah Kau jadikan kami saudara, Indah dalam kebersamaan

UP DATE VIDEO PKS

TOTAL LAYANGAN BULAN INI

TRENDING

 
Copyright © PKS DPC Sumedang Utara - All Rights Reserved
    Facebook Twitter YouTube