Home » , » Kenapa Jokowi-JK Janji Kolom Agama di KTP Mau Dihapus?

Kenapa Jokowi-JK Janji Kolom Agama di KTP Mau Dihapus?

Written By Dedi E Kusmayadi Soerialaga on Rabu, 18 Juni 2014 | 6/18/2014

Saya heran wacana Jokowi-JK Janji untuk menghapus kolom agama dari kartu tanda penduduk (KTP). 

Alasan yang dikemukakan adalah  Anggota tim pemenangan calon presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, Musda Mulia, mengatakan, pihaknya menjanjikan penghapusan kolom agama pada kartu tanda penduduk (KTP) jika pasangan ini terpilih. Sebab, keterangan agama pada kartu identitas dinilai justru dapat disalahgunakan.

"Saya setuju kalau kolom agama dihapuskan saja di KTP, dan Jokowi sudah mengatakan pada saya bahwa dia setuju kalau memang itu untuk kesejahteraan rakyat," ujar Musda pada diskusi mengenai visi dan misi capres, bertajuk "Masa Depan Kebebasan Beragama dan Kelompok Minor di Indonesia", di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (18/6/2014).

Dalam sejumlah diskusi dengan Jokowi, ia mengatakan, capres itu menyetujui penilaian bahwa kolom agama dalam KTP lebih banyak memberi kerugian bagi warga. Menurut Musda, kolom agama di KTP dapat disalahgunakan, antara lain ketika konflik terjadi di suatu daerah.


Kolom agama di KTP dapat menyebabkan timbulnya diskriminasi, terutama bagi penganut agama minoritas di suatu daerah, atau bagi orang penganut kepercayaan atau agama di luar enam agama rsmi yang diakui negara (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu). Contoh diskriminasi yang terjadi misalnya –seperti dikutip dari sini– Dari temuan dan laporan sebagian anggota Komisi II, warga pemeluk agama minoritas di wilayah tertentu di Indonesia, kerap dipersulit ketika sedang mengakses pelayanan publik begitu diketahui oleh petugas tersebut agamanya berbeda.

Bahkan, Wagub Jakarta, Ahok, pun ikut-ikutan mendukung penghapusan kolom agama di KTP, dengan mengambil contoh di Malaysia saja tidak ada pencantuman agama di dalam KTP warga (meskipun pernyataan Ahok ini dibantah oleh warga Malaysia, Pemerintah Malaysia masih mencantumkan kolom agama dalam kartu tanda penduduk mereka (baca : Ahok Salah, KTP Malaysia Masih Cantumkan Kolom Agama).

Hmm…padahal di dalam Undang-Undang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan tidak ada penghapusan kolom agama. Dikutip dari sini, UU baru tersebut menyatakan, masyarakat tak lagi wajib mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) apabila dia beragama di luar 6 agama yang diakui resmi pemerintah RI saat ini, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu.

Bagi kelompok sekuler (dan liberal) yang ingin menjauhkan agama dari kehidupan bernegara dan berbangsa, pasti mereka sepemahaman dengan usulan penghapusan kolom agama. Begitu pula bagi orang-orang yang sentimen dengan masalah agama, mereka cenderung melihat agama itu dari sudut negatif saja. Agama seolah-olah tidak penting untuk dibahas, agama itu urusan pribadi, toh beragama atau tidak beragama sama saja kelakuannya. Justifikasinya sering dikaitkan dengan kasus-kasus hukum seseorang. Misalnya, mengaku taat beragama tapi kok mencuri, mengaku sudah pergi haji tapi kok suka korupsi. Ayat suci dibaca, tetapi maknanya tidak diamalkan. Akhirnya beginilah yang terjadi pada bangsa ini yang mengaku bangsa paling religius: korupsi, suap, nyontek, perkosaan, dan perilaku buruk lainnya menjadi berita sehari-hari. Menurut saya yang salah itu bukan karena agamanya, tetapi emang dasar orang tersebut tidak mempraktekkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari, tidak me-match-kan apa yang dibaca dengan yang tindakan yang dilakukan.

Kembali ke masalah diskriminasi karena agama. Diskriminasi terjadi bukan karena agamanya, tetapi lebih pada perilaku orangnya. Orang yang melakukan diskriminasi karena agama sebenarnya telah berlaku tidak adil, dan ketidakadilan itu bisa diseret ke ranah hukum karena melanggar Pasal 27 UU 1045 ayat 1 : "Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". toh kita sudah tahu dari sejak SMP sampai penguruan tinggipun belajar Pancasila.

 
Ketidakadilan karena menganut suatu agama tidak hanya terjadi di negara kita. Di luar negeri, di negara-negara yang mengaku demokratis sekalipun, sering juga kita dengar diskriminasi hanya karena dia beragama berbeda. Misalnya ada wanita muslimah yang susah mendapat pekerjaan hanya karena dia memakai hijab atau kerudung. Di Perancis yang menganut paham liberte malah ada larangan menggunakan jilbab di sekolah-sekolah.

Jika pencantuman agama di KTP dianggap menimbulkan diskriminasi, maka seharusnya semua kolom data di KTP dapat menimbulkan diskriminasi juga lho. Tidak percaya? Coba perhatikan dialog berikut yang saya peroleh dari Facebook, anekdot lucu tetapi sebenarnya mengandung nada satire:



Perlukah Kolom Agama di KTP Dihapus?

A: “Bro, tahu belum? Ada wacana kolom agama di KTP mau dihilangkan lho.”

B: “Emang kenapa? Katanya negara berke-Tuhan-an, kok malah hilangkan agama?”

A: “Katanya sih, kolom agama itu bisa mengakibatkan diskriminasi. Lagian agama juga urusan pribadi. Nggak usahlah dicantumkan di KTP.”

B: “Nah, ntar ada juga orang yang ngaku mendapat perlakuan diskriminasi gara-gara jenis kelamin ditulis. Berarti kolom jenis kelamin juga harus dihapus dong. Laki-laki dan perempuan kan setara. Lagian, para bencong atau banci pasti protes mau dimasukkan ke jenis kelaminya apa.”

C: “Eh, jangan lupa. Bisa juga lho perlakuan diskriminasi terjadi karena usia. Jadi hapus juga kolom tanggal lahir.”

D: “Eit, ingat juga. Bangsa Indonesia ini juga sering fanatisme daerahnya muncul, terlebih kalau ada laga sepak bola. Jadi mestinya, kolom tempat lahir dan alamat juga dihapus.”

B: “Ada juga lho, perlakuan diskriminasi itu gara-gara nama. Misal nih, ada orang dengan nama khas agama tertentu misalnya Abdullah, tapi tinggal di daerah yang mayoritas agamanya lain. Bisa tuh ntar dapat perlakuan diskriminasi. Jadi kolom nama juga wajib dihapus.”

B: “Kalau status pernikahan gimana? Perlu gak dicantumkan?”

A: “Itu harus dihapus. Nikah atau tidak nikah itu kan urusan pribadi masing-masing. Saya mau nikah kek, mau pacaran kek, itu kan urusan pribadi saya. Jadi kalau ada perempuan hamil besar mau melahirkan di rumah sakit, nggak usah ditanya KTP-nya, nggak usah ditanya sudah nikah belum, nggak usah ditanya mana suaminya. Langsung saja ditolong oleh dokter.”

D: “Sebenarnya, kolom pekerjaan juga berpotensi diskriminasi. Coba bayangkan. Ketika di KTP ditulis pekerjaan adalah petani/buruh, kalau orang tersebut datang ke kantor pemerintahan, kira-kira pelayanannya apakah sama ramahnya jika di kolom pekerjaan ditulis TNI? Nggak kan? Buruh biasa dilecehkan. Jadi kolom pekerjaan juga harus dihapus.”

C: “Kalau golongan darah gimana? Berpotensi diskriminasi nggak?”

A: “Bisa juga. Namanya orang sensitif, apa-apa bisa jadi bahan diskriminasi.”

E: “Lha terus, isi KTP apa dong?


Nama : dihapus


Tempat tanggal lahir : dihapus


Alamat tinggal : dihapus


Agama : dihapus


Status perkawinan : dihapus


Golongan darah : dihapus


Berarti, KTP isinya kertas kosong doang….”

 
A, B, C, D : (melongo) heee...hee...heee...bye akoe cinta Indonesia...

0 comments:

Alhamdulillah wa'syukurilah Bersyukur padamu ya Allah Kau jadikan kami saudara, Indah dalam kebersamaan

UP DATE VIDEO PKS

TOTAL LAYANGAN BULAN INI

TRENDING

 
Copyright © PKS DPC Sumedang Utara - All Rights Reserved
    Facebook Twitter YouTube