Home » » Meneladani Toleransi Beragama di Zaman Rasulullah

Meneladani Toleransi Beragama di Zaman Rasulullah

Written By Dedi E Kusmayadi Soerialaga on Kamis, 19 Juni 2014 | 6/19/2014

Sejarah Zaman Rosulullah Sikap Toleransi Beragama

Rasulullah adalah tokoh teladan terbaik dalam mengajarkan sikap toleransi kepada umatnya.

Toleransi merupakan sikap untuk mengayomi orang-orang yang berbeda keyakinan dan kedudukan yang tidak menebar permusuhan. Rasulullah tidak hanya sebagai Nabi, beliau juga kepala keluarga, panglima perang, dan kepala negara. Kedudukan dan kekuasaan yang diperolehnya tidak menjadikannya sebagai orang yang bertindak kasar dan keras.

Sebagai Nabi, sikap toleransi yang beliau tunjukkan ialah memaafkan dan bahkan mendoakan kaum yang telah berbuat jahat kepada beliau ketika berdakwah. Setelah wafatnya paman beliau, Abu Thalib, Nabi SAW berkunjung ke perkampungan Thaif. Beliau menemui tiga orang dari pemuka suku kaum Tsaqif, yaitu Abdi Yalel, Khubaib, dan Mas'ud.

Nabi mengajak mereka untuk melindungi para sahabatnya agar tidak diganggu oleh suku Quraisy. Namun, kenyataan pedih yang dialami beliau. Nabi diusir dan dilempari batu oleh kaum Tsaqif. Akibatnya, darah pun mengalir dari tubuh beliau.

Menyaksikan kejadian itu, Malaikat Jibril memohon izin untuk menghancurkan kaum Tsaqif karena telah menyiksa Nabi. Namun, apa jawaban Nabi? “Jangan! Jangan! Aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang akan menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun.”

Beliau pun berdoa untuk kaum Tsaqif. "Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena mereka belum mengetahui (kebenaran).” (HR Baihaqi).

Pada lain kesempatan, sebagai pemimpin negara, Rasulullah SAW juga menunjukkan sikap tolerannya. Ketika terjadi keributan antara kaum Muslim dan kaum Quraisy serta Yahudi, Rasul menawarkan solusi dengan membuat Piagam Madinah untuk mencari kedamaian dan ketenteraman kehidupan di masyarakat. Seperti yang terdapat pada pasal 16 yang tertulis :

“Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (kaum mukminin) tidak terzalimi dan ditentang.”

Selain Piagam Madinah, pada peristiwa penaklukkan Kota Makkah (Fathu Makkah), Rasulullah SAW juga menunjukkan toleransi yang sangat indah. Penduduk Makkah yang selama ini memusuhi Rasulullah, ketakutan ketika umat Islam berhasil menaklukkan Kota Makkah. Sebab, sebelum penaklukan itu, umat Islam sering ditindas oleh kaum kafir Quraisy Makkah. Tak jarang, mereka juga menghalang-halangi dakwah Rasul, bahkan hingga bermaksud membunuhnya.

Namun, setelah penaklukkan Kota Makkah itu, Rasul memaafkan sikap mereka. Tidak ada balas dendam. Kekuasaan yang dimilikinya, tak menjadikan diri Rasul menjadi sombong atau bertindak sewenang-wenang. Ketika penduduk Quraisy menanti keputusan beliau, Rasul bersabda, “Saya hanya katakan kepada kalian sebagaimana ucapan Nabi Yusuf kepada para saudaranya, 'Tiada celaan atas kalian pada hari ini'. Pergilah! Kalian semua bebas.” (HR Baihaqi).

Itulah di antara contoh toleransi Rasulullah. Pantaslah bila beliau menjadi suri teladan bagi umat Islam dalam berbagai hal. (QS al-Ahzab: 21).

Zaman sekarang ini, baik di Indonesia maupun dimanapun di seluruh dunia, Agama Islam dicap sebagai agama yang intoleransi terhadap penganut agama lain. Entah ini karena memang kebencian (atau kedengkian) penganut agama lain terhadap Islam, atau karena Islamphobia, atau mungkin karena perilaku pemeluk Agama Islam sendiri yang memang bersikap intoleransi kepada pemeluk agama lain, terutama ketika pemeluk Agama Islam menjadi masyarakat mayoritas. Kadang-kadang dengan dalih amar ma'ruf nahi munkar, mereka melakukan tindakan yang bisa disebut arogan.

Tapi benarkah Rosulullah melakukan hal-hal seperti itu. Dalam kisah sirah nabawiyah bisa kita temukan bagaimana sikap Rasulullah menghadapi pemeluk agama lain, maupun pemeluk Agama Islam yang tidak taat, saat periode Mekah dan periode Madinah.

Hubungan dengan pemeluk agama lain terjadi baik pada waktu Rasulullah SAW masih berada di Mekah, maupun setelah beliau hijrah ke Madinah. Pada saat di Mekah, beliau sehari-harinya berbaur dengan masyarakat pagan, penyembah berhala. Bermacam-macam tipe manusia yang beliau hadapi, yaitu orang yang tidak menentang dakwah beliau, meskipun tidak bersedia masuk Islam, maupun orang- orang yang menentang dakwah beliau.

Dalam upaya kaum musyrik menghalangi dakwah beliau, mereka menggunakan cara kasar maupun halus. Cara kasar yang mereka tempuh diantaranya dengan secara langsung menyiksa pengikut beliau SAW, dan melakukan intimidasi baik kepada Rasulullah SAW maupun pengikut beliau, bahkan percobaan pembunuhan terhadap diri Rosulullah sendiri. Cara halus diantaranya dengan boikot sosial dan ekonomi, menyebar tuduhan-tuduhan untuk merusak citra Rasulullah, dan upaya diplomasi kepada Rasulullah SAW.

Kondisi umat Islam pada saat itu adalah kaum minoritas yang lemah. Namun kondisi itu terbantu dengan adanya perlindungan dari Abu Thalib, paman Rasulullah SAW, yang merupakan tokoh yang terpandang di kalangan Suku Quraisy. Sedangkan penguasa saat itu adalah orang-orang musyrik. Bagaimana Rasulullah menyikapi orang-orang musyrik itu, terutama dalam kaitan dengan toleransi beragama?

Suatu ketika para pemuka kaum Quraisy berusaha menghentikan dakwah Nabi SAW dengan cara halus, yaitu diplomasi. Dikisahkan mereka mengutus diplomat mereka, Uthbah bin Rabiah untuk membujuk Nabi SAW. Langkah pertama dengan menawarkan 3-ta (harta, tahta, wanita) kepada Rasulullah SAW gagal. Usaha kedua, dengan menawarkan konsep toleransi beragama, yaitu dengan cara saling bergantian melaksanakan ibadah agama mereka. Artinya kaum musyrik pada waktu tertentu mengikuti Islam, namun di waktu lain umat Islam juga melaksanakan ibadah cara kaum musyrik. Menanggapi ajakan ini, turunlah Surat Al Kafirun ayat 1-6.


قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُ‌ونَ ﴿١﴾ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٣﴾ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٥
 لَكُمْ  دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦


Katakanlah: "Hai orang-orang kafir (1) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. (2) Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. (3) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (4) dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. (5) Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku". (6)

Inilah sikap Rasulullah SAW terhadap ajakan kaum musyrik. Mereka menawarkan konsep yang salah dalam bertoleransi antar agama. Dalam Surat Al Kafirun jelas sekali bahwa toleransi itu bukan ikut melaksanakan ibadah pemeluk agama lain.

Dua kali mengalami kegagalan, Uthbah bin Rabiah tidak menyerah. Dia sekali lagi menemui Rasulullah SAW untuk menawarkan konsep toleransi beragama yang lain. Dia meminta agar Rasullah SAW untuk sekedar duduk-duduk bersama mereka, dan dia berjanji akan menikuti dakwah Nabi SAW. Untuk ini, Allah Subhana Wataalla menurunkan Surat Al Israa' (17) ayat 73-75


لَا إِكْرَ‌اهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّ‌شْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ‌ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّـهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْ‌وَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّـهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿٢٥٦

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (256)

Sangat jelas dan tegas, tidak ada paksaan dalam beragama. Karena yang benar sudah sangat jelas, maka bagi yang tidak mengikuti kebenaran berarti memang tidak mau. Jika dipaksa, maka imannya tidak akan benar. Yang terjadi malah mereka akan menjadi orang munafik (Islam KTP). Dalam Al Quran dijelaskan bahwa golongan munafik adalah penghuni neraka paling dasar, jadi masih mending orang yang jelas-jelas kafir. Pun dalam catatan sejarah, orang munafiklah yang lebih berbahaya bagi umat Islam daripada pihak lain yang jelas-jelas menyatakan permusuhan.
Kita lihat juga Surat Al Kahfi (18) ayat 29:
  
 وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّ‌بِّكُمْ ۖ فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ‌ ......  ﴿٢٩

Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir"....(29)
Dan umat Muslimpun dilarang untuk menjelek- jelekkan keyakinan mereka. Ini adalah adab yang sangat terpuji dalam bertoleransi. Silahkan simak Al Qur'an  Surat Al An'am (6) ayat 108.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّـهِ فَيَسُبُّوا اللَّـهَ عَدْوًا بِغَيْرِ‌ عِلْمٍ ۗ .... ﴿١٠٨

 
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.(108)

Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa sesungguhnya Islam sangat menjunjung tinggi sikap toleransi antar umat beragama. Dalilnya jelas tercantum dalam undang- undangnya orang Islam yaitu Al Qur'an, bukan semata- mata karena kebijakan penganutnya. Dan prakteknyapun sudah dilakukan dengan sempurna pada masa generasi Islam yang mula-mula.
Lalu bagaimana sikap Rasulullah SAW terhadap orang yang mengaku Islam tapi tidak melaksanakan Islam dengan baik (kaum munafik)? Apakah beliau memaksa untuk melaksanakan syariat Islam?
Tersebutlah kisah Ka'ab bin Malik r.a pada waktu perang Tabuk. Beliau sebelumnya belum pernah absen dalam setiap panggilan perang yang melibatkan kaum Muslimin. Namun saat itu beliau enggan ikut dikarenakan suatu alasan yang tidak patut untuk dituruti. Sepulang Rasulullah SAW dari peperangan, orang-orang munafik menghadap beliau menyampaikan uzur masing-masing, dan Rasulullah SAW menerima begitu saja uzur mereka tanpa memberi sanksi sama sekali.

Pada saat Ka'ab bin Malik r.a menghadap, beliau tidak menyampaikan uzur, hanya meminta maaf. Maka Rasulullah SAW memberi hukuman kepada Ka'ab bin Malik berupa boikot kepada Ka'ab. Artinya seluruh kaum Mukmin, termasuk keluarganya, dilarang berhubungan dengan Ka'ab, bahkan sekedar bertegur sapa atau mengucap salam. Hal ini berlaku sampai 40 hari, bahkan menurut suatu riwayat ditambah 10 hari lagi sampai turun Surat At Taubah (9) ayat 118.
Jelas sekali perlakuan Rasulullah SAW terhadap orang yang benar-benar keislamannya, dalam contoh di atas Ka'ab bin Malik r.a, dengan orang-orang yang sekedar mengaku Islam. Jadi tidak benar jika untuk mengingatkan orang yang mengaku beragama Islam yang sedang berbuat salah dengan cara pemaksaan. Lebih bijaksana jika kita tegur sesuai kualitas keislamannya.
Tapi Rasulullah tidak tinggal diam begitu saja ketika ada pihak yang berlaku intoleran dalam beragama. Hal ini berdasar Al Qur'an Surat Al Baqarah (2) ayat 217 :

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ‌ الْحَرَ‌امِ قِتَالٍ فِيهِ ۖ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ‌ ۖ وَصَدٌّ عَن سَبِيلِ اللَّـهِ وَكُفْرٌ‌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَ‌امِ وَإِخْرَ‌اجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ‌ عِندَ اللَّـهِ ۚ 
وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ‌ مِنَ الْقَتْلِ ۗ وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُ‌دُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا ۚ وَمَن يَرْ‌تَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ‌ فَأُولَـٰئِكَ 
حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَ‌ةِ ۖ وَأُولَـٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ‌ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿٢١٧


Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (217)
Ini artinya kita diperbolehkan memerangi orang-orang yang menghalangi manusia dari jalan  Allah (ibadah, dakwah, dll). Halal untuk memerangi orang yang terlebih dahulu melanggar toleransi antar agama. Tapi di sini batasan memerangi sangat jelas, yaitu jika umat Islam diganggu dalam hal agama, seperti tercantum dalam Al Qur'an surat Al Mumtahanah (60) ayat 8:

لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّـهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِ‌جُوكُم مِّن دِيَارِ‌كُمْ أَن تَبَرُّ‌وهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّـهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨
 

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (8)
Izin berperangpun turun ketika umat Islam diganggu dalam hal keyakinan mereka. Bisa kita lihat di dalam Al Qur'an surat Al Hajj (22) ayat 39-40:
 
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّـهَ عَلَىٰ نَصْرِ‌هِمْ لَقَدِيرٌ‌ ﴿٣٩﴾ الَّذِينَ أُخْرِ‌جُوا مِن دِيَارِ‌هِم بِغَيْرِ‌ حَقٍّ إِلَّا أَن يَقُولُوا رَ‌بُّنَا اللَّـهُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ 
اللَّـه النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ‌ فِيهَا اسْمُ اللَّـهِ كَثِيرً‌ا ۗ وَلَيَنصُرَ‌نَّ اللَّـهُ مَن يَنصُرُ‌هُ ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَقَوِيٌّ 


Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (39) (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (40) 
Dalam kasus peperangan yang lain, peperangan terjadi karena pelanggaran salah satu pihak terhadap kesepakatan yang melibatkan pihak-pihak tersebut, yang biasanya dalam perjanjian itu tertulis bagi yang melanggar perjanjian berhak untuk diperangi.
Maka, salah besar jika ada yang beranggapan bahwa Islam itu anti toleransi. Islam mengajarkan kepada umatnya agar toleransi terhadap penganut agama lain dengan batas-batas yang sangat jelas. 

Tidak ada paksaan dalam beragama, bahkan ketika umat Islam berkuasa penuh.

Allahu a'lam bishshawab.


0 comments:

Alhamdulillah wa'syukurilah Bersyukur padamu ya Allah Kau jadikan kami saudara, Indah dalam kebersamaan

UP DATE VIDEO PKS

TOTAL LAYANGAN BULAN INI

TRENDING

 
Copyright © PKS DPC Sumedang Utara - All Rights Reserved
    Facebook Twitter YouTube