Hajat demokrasi lokal berupa pemilihan umum kepala daerah (pilkada) kini menimbulkan paradoks. Dana yang dikeluarkan, baik dari kas daerah maupun para kandidat, mencapai puluhan miliar rupiah. Namun hasilnya tetap saja tidak sesuai dengan aspirasi rakyat.
Pemilukada bertujuan memilih kepala daerah yang dapat merealisasikan kebijakan pro rakyat. Namun yang terjadi, seringkali hanya menguatkan ekonomi politik oligarkis. Dengan kata lain, hanya orang beruang banyak atau dekat dengan orang berduit yang mungkin terpilih. Akibatnya, ‘aspirasi’ paling pertama didengar pejabat hasil pemilukada adalah suara para pemilik modal atau penyandang dana kampanye. Sementara, kebijakann yang pro rakyat akan sangat sulit direalisasikan.
Pilkada tidak menjamin dan sulit menghasilkan pemimpin berkualitas, karena pada umumnya orang berkualitas tidak memiliki ‘mahar politik’ atau kendaraan politik. Mereka tidak bisa bersaing dengan kandidat pemilik akses dana besar. Hingga saat ini masyarakat hanya ‘dipaksa’ untuk memilih paket pasangan yang diusung partai. Karena criteria kandidat diusung adalah pupularias, maka fenomena pencalonan artis pun muncul dalam pemilukada di beberapa daerah.
===========
Pelaksanaan pemilukada yang menyedot biaya cukup besar dengan hasil yang jeblog ini menjadi isu panas akhir-akhir ini. Presiden pun merasa prihatin terhadap pelaksanaan pemilukada di sejumlah daerah yang terlampau mahal.
“Satu keprihatinan dan kecemasan kalau politik dan demokrasi kita ini menjadi sesuatu yang amat mahal. Ini bukan jadi rahasia lagi kalau orang mencemaskan pemilukada saja biayanya sangat tinggi,” ujar Presiden SBY saat menerima Pengurus Pusat ICMI di Kantor Presiden, beberapa waktu lalu. Hal itu terjadi, lanjut SBY, pada pemilkada di segala tingkat mulai pemilihan bupati, wali kota dan gubernur. Bila keadaan tersebut terus berkembang, menurutnya, bukan hanya berimbas pada mahalnya ongkos politik, tapi juga menyimpang dari hakikat bagaimana rakyat memilih pemimpin dengan cara-cara yang sepatutnya.
“Bagaimana rakyat pemilih pemimpin atau para wakilnya dengan caraa yang baik, amanah dan bersih. Ini menyangkut moral, budaya, dan etika politik,” jelas SBY. Ia berharap kondisi seperti itu tidak dilestarikan. Demokrasi dan politik bisa berkembang namun tetap amanah dan tercegah dari perilaku yang menyebabkan ongkos politik yang mahal. “Kita memiliki kewajiban moral, untuk itu. Jangan sampai masa depan kita berada dalam wilayah yang salah. Jangan sampai generasi mendatang mendapat warisan dari perilaku politik dan demokrasi yang sebenarnya yang tidak kita inginkan,” kata SBY.
===========
Pernyataan presiden itu diamani pengamat politik Dr Dede Mariana MA , dosen FISIP Universitas Padjadjaran Bandung. Menurut Dede, mahalnya biaya pemilukada tidak terlepas dari proses politik untuk mendapatkan kendaraan partai politik atau dukungan persyaratan calon melalui jalur independen. Tahapan dalam pelaksanaan pemilukada membutuhkan dana cukup besar. Menurut Dede, yang perlu dipikirkan kini bagaimana sistem dibangun agar biaya besar ini bisa dieliminir sedemikian rupa. Hal lain yang perlu diperhatikan menyangkut transparansi sumber dana yang diperoleh calon. Harus diaudit independen terlebih dahulu, terutama menyangkut penggunaan alokasinya sehingga tidak menjadi masalah di awal. Karena persoalan ini bisa menjadi masalah lanjutan termasuk penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki ketika terpilih sehingga terjadi praktik korupsi saat menjalankan roda pemerintahan.
“Memangkas biaya pemilukada secara sistem bisa melalui perubahan perundang- undangan sehingga tidak terlalu panjang prosesnya dan calon yang diusung parpol harus betul-betul punya integritas, kredibilitas dan bukan menjadikan kekuasaan untuk lahan korupsi,” kata Dede. Karena itu, biaya politik haruslah transparan dan bukan sarana korupsi atau pencucian uang. Rakyat juga dituntut harus kritis dan tidak terbawa alur money politics dalam menentukan pemimpinnya, sehingga bisa menentukan siapa sesungguhnya pemimpin daerah yang bersih, yang memiliki integritas dan dapat membawa arus perubahan daerah ke arah yang lebih baik.
Menurut Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2004-2009 Prof. Dr. Ramlan Surbakti, biaya pemilukada mahal tidak bisa menjadi alasan untuk mengubah instrumen perundang-undangan agar kembali kepada pemilihan tidak langsung. Tetapi harus dipikirkan bagaimana secara sistem, pemilukada dikelola efektif dan efisien. Dicari solusinya agar biaya pemilukada murah, dan para kandidat yang diusung parpol maupun melalui jalur independen tidak harus menyediakan dana yang terlalu besar,. “Secara sistem tahapan pilkada, prosedurnya harus lebih disederhanakan dengan memanfaatkan teknologi agar pemaparan program kandidat bisa diketahui dengan tepat oleh publik,” kata Surbakti. Dosen FISIP Unair ini juga melihat sistem pemilihan dengan elektronik sudah harus dipersiapkan, supaya anggaran negara lebih hemat dan para calon bisa mengawasi proses penghitungan suara. Hal ini juga bisa mengurangi sengketa.
Menyinggung adanya wacana agar gubernur dipilih melalui DPRD, Surbakti tidak setuju. Menurutnya, gubernur yang dipilih secara langsung haruslah ditempatkan satu sisi sebagai wakil dan perangkat pemerintah pusat di daerah. Dan di sisi lain menjadi kepala daerah provinsi yang mengelola serta memimpin kepala daerah di provinsi.
Pemilukada bertujuan memilih kepala daerah yang dapat merealisasikan kebijakan pro rakyat. Namun yang terjadi, seringkali hanya menguatkan ekonomi politik oligarkis. Dengan kata lain, hanya orang beruang banyak atau dekat dengan orang berduit yang mungkin terpilih. Akibatnya, ‘aspirasi’ paling pertama didengar pejabat hasil pemilukada adalah suara para pemilik modal atau penyandang dana kampanye. Sementara, kebijakann yang pro rakyat akan sangat sulit direalisasikan.
Pilkada tidak menjamin dan sulit menghasilkan pemimpin berkualitas, karena pada umumnya orang berkualitas tidak memiliki ‘mahar politik’ atau kendaraan politik. Mereka tidak bisa bersaing dengan kandidat pemilik akses dana besar. Hingga saat ini masyarakat hanya ‘dipaksa’ untuk memilih paket pasangan yang diusung partai. Karena criteria kandidat diusung adalah pupularias, maka fenomena pencalonan artis pun muncul dalam pemilukada di beberapa daerah.
===========
Pelaksanaan pemilukada yang menyedot biaya cukup besar dengan hasil yang jeblog ini menjadi isu panas akhir-akhir ini. Presiden pun merasa prihatin terhadap pelaksanaan pemilukada di sejumlah daerah yang terlampau mahal.
“Satu keprihatinan dan kecemasan kalau politik dan demokrasi kita ini menjadi sesuatu yang amat mahal. Ini bukan jadi rahasia lagi kalau orang mencemaskan pemilukada saja biayanya sangat tinggi,” ujar Presiden SBY saat menerima Pengurus Pusat ICMI di Kantor Presiden, beberapa waktu lalu. Hal itu terjadi, lanjut SBY, pada pemilkada di segala tingkat mulai pemilihan bupati, wali kota dan gubernur. Bila keadaan tersebut terus berkembang, menurutnya, bukan hanya berimbas pada mahalnya ongkos politik, tapi juga menyimpang dari hakikat bagaimana rakyat memilih pemimpin dengan cara-cara yang sepatutnya.
“Bagaimana rakyat pemilih pemimpin atau para wakilnya dengan caraa yang baik, amanah dan bersih. Ini menyangkut moral, budaya, dan etika politik,” jelas SBY. Ia berharap kondisi seperti itu tidak dilestarikan. Demokrasi dan politik bisa berkembang namun tetap amanah dan tercegah dari perilaku yang menyebabkan ongkos politik yang mahal. “Kita memiliki kewajiban moral, untuk itu. Jangan sampai masa depan kita berada dalam wilayah yang salah. Jangan sampai generasi mendatang mendapat warisan dari perilaku politik dan demokrasi yang sebenarnya yang tidak kita inginkan,” kata SBY.
===========
Pernyataan presiden itu diamani pengamat politik Dr Dede Mariana MA , dosen FISIP Universitas Padjadjaran Bandung. Menurut Dede, mahalnya biaya pemilukada tidak terlepas dari proses politik untuk mendapatkan kendaraan partai politik atau dukungan persyaratan calon melalui jalur independen. Tahapan dalam pelaksanaan pemilukada membutuhkan dana cukup besar. Menurut Dede, yang perlu dipikirkan kini bagaimana sistem dibangun agar biaya besar ini bisa dieliminir sedemikian rupa. Hal lain yang perlu diperhatikan menyangkut transparansi sumber dana yang diperoleh calon. Harus diaudit independen terlebih dahulu, terutama menyangkut penggunaan alokasinya sehingga tidak menjadi masalah di awal. Karena persoalan ini bisa menjadi masalah lanjutan termasuk penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki ketika terpilih sehingga terjadi praktik korupsi saat menjalankan roda pemerintahan.
“Memangkas biaya pemilukada secara sistem bisa melalui perubahan perundang- undangan sehingga tidak terlalu panjang prosesnya dan calon yang diusung parpol harus betul-betul punya integritas, kredibilitas dan bukan menjadikan kekuasaan untuk lahan korupsi,” kata Dede. Karena itu, biaya politik haruslah transparan dan bukan sarana korupsi atau pencucian uang. Rakyat juga dituntut harus kritis dan tidak terbawa alur money politics dalam menentukan pemimpinnya, sehingga bisa menentukan siapa sesungguhnya pemimpin daerah yang bersih, yang memiliki integritas dan dapat membawa arus perubahan daerah ke arah yang lebih baik.
Menurut Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2004-2009 Prof. Dr. Ramlan Surbakti, biaya pemilukada mahal tidak bisa menjadi alasan untuk mengubah instrumen perundang-undangan agar kembali kepada pemilihan tidak langsung. Tetapi harus dipikirkan bagaimana secara sistem, pemilukada dikelola efektif dan efisien. Dicari solusinya agar biaya pemilukada murah, dan para kandidat yang diusung parpol maupun melalui jalur independen tidak harus menyediakan dana yang terlalu besar,. “Secara sistem tahapan pilkada, prosedurnya harus lebih disederhanakan dengan memanfaatkan teknologi agar pemaparan program kandidat bisa diketahui dengan tepat oleh publik,” kata Surbakti. Dosen FISIP Unair ini juga melihat sistem pemilihan dengan elektronik sudah harus dipersiapkan, supaya anggaran negara lebih hemat dan para calon bisa mengawasi proses penghitungan suara. Hal ini juga bisa mengurangi sengketa.
Menyinggung adanya wacana agar gubernur dipilih melalui DPRD, Surbakti tidak setuju. Menurutnya, gubernur yang dipilih secara langsung haruslah ditempatkan satu sisi sebagai wakil dan perangkat pemerintah pusat di daerah. Dan di sisi lain menjadi kepala daerah provinsi yang mengelola serta memimpin kepala daerah di provinsi.
==============
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) GamawanFauzi mengaku heran, banyak orang yang ingin menjadi gubernur, bupati dan wali kota. Padahal, gaji resmi seorang kepala daerah hanya sekitar delapan juta rupiah per bulan. “Ini mungkin perlu penelitian, mengapa banyak (orang) yang mau menjadi kepala daerah. Padahal, untuk maju ikut pilkada itu butuh dana hingga belasan bahkan puluhan miliar rupiah. Sementara gaji seorang kepala daerah itu tidak terlalu besar,” ujar Mendagri kepada wartawan, di Gedung Kemendagri, Jakarta, beberapa waktu lalu. Ia diminta komentarnya soal pernyataan sejumlah pihak mengenai biaya pelaksanaan pemilukada di Indonesia sangat mahal serta banyak kepala daerah yang diduga tersangkut kasus korupsi.
Mendagri menjelaskan, untuk maju menjadi calon bupati dan wali kota diperlukan dana setidaknya sekitar 20 miliar. Sementara seorang calon gubernur, diperkirakan perlu dana minimal 50 miliar yang sebagian besar dihabiskan untuk dana kampanye pemilukada. Sewaktu menjabat Bupati Solok, ia memperoleh gaji sekitar 6,2 juta rupiah per bulan. Sementara saat menjabat Gubernur Sumatera Barat, gaji yang diperolehnyakira- kira 8,7 juta rupiah per bulan. “Taruhlah kalau sudah diterapkan sistem single salary (gaji tunggal tanpa honor-Red), seorang kepala daerah gajinya 10 juta rupiah per bulan. Kalau setahun artinya dia mendapatkan 120 juta rupiah, Maka selama lima tahun menjabat, total dia mendapatkan gaji 600 juta rupiah. Jumlah ini masih terlalu kecil dengan dana kampanye pemilukada yang harus dia keluarkan hingga belasan bahkan puluhan miliar rupiah. Tapi, mengapa kok masih banyak orang yang mau ikut maju dalam pemilukada,” katanya lagi. Ia sendiri tidak menjelaskan berapa banyak dana yang dihabiskannya untuk ikut pemilukada Bupati Solok dan Gubernur Sumbar.
Melihat kenyataan tersebut, menurut Mendagri, muncul tudingan di masyarakat, bahwa seorang kepala daerah yang terpilih dengan berbagai macam cara - termasuk melakukan praktik korupsi - berupaya mengembalikan dana yang telah dikeluarkannya sewaktu ikut pemilukada.
“Hingga saat ini, Presiden sudah menandatangani surat izin pemeriksaan untuk sekitar 130 kepala daerah. Itu jumlah yang sangat besar,” ujar GamawanFauzi. Hampir seluruhnya, berkaitan dengan kasus korupsi. “Patut dicurigai, kepala daerah itu terlibat praktik korupsi karena biaya pilkada yang tinggi, sementara gaji resmi yang didapatnya tidak mungkin untuk menutupi biaya pengeluaran semasa ikut pilkada,” tuturnya lagi.
Dalam kesempatan itu, Mendagri juga menjelaskan, sebanyak 244 kepala daerah (gubernur, bupati dan wali kota) yang terpilih dalam pilkada 2010 akan diwajibkan untuk mengikuti semacam pelatihan atau orientasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan. Kegiatan ini berlangsung karena tidak semua kepala daerah yang terpilih memiliki latar belakang pengetahuan dan pengalaman di bidang penyelenggaraan pemerintahan daerah. “Kepala daerah yang terpilih itu meskipun dulunya orang populer atau tokoh terkenal, tapi belum tentu punya pengalaman di bidang pemerintahan. Karena itu, mereka perlu diberi pengetahuan dan pemahaman dibidang pemerintahan daerah. Kegiatannya berlangsung di Jakarta dan sepenuhnya dibiayai APBN,” tuturnya.
Dalam catatan Medikom, pada tahun ini pemerintah akan melaksanakan pemilukada di 244 daerah di Indonesia, meliputi 7 pemilihan gubernur, 35 pemilihan wali kota, dan 202 pemilihan bupati. Biaya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah 2010 adalah mencapai Rp. 3,54 triliun, kata Timbul Pudjianto, Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri. Biaya ini jauh lebih besar daripada pemilu legislatif dan pemilihan presiden tahun lalu yang berkisar diangka Rp. 2 triliun.
Sumber : http://www.scribd.com/doc/34863025/edisi-379
0 comments:
Alhamdulillah wa'syukurilah Bersyukur padamu ya Allah Kau jadikan kami saudara, Indah dalam kebersamaan